Senin, 04 Januari 2010

Manajemen berbasis kepala sekolah

Manajemen Berbasis Kepala Sekolah

Rabu, 26 April 2006
Kekecewaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas buruknya kondisi Sekolah Dasar Negeri 01 Pulau Kelapa berbuah bencana bagi Juhri Usman yang menjabat sebagai kepala sekolah di sekolah tersebut. Dinas Pendidikan DKI Jakarta memecatnya, karena dia dinilai tidak sigap dan berperhatian terhadap sekolah yang dipimpinnya, padahal di era manajemen berbasis sekolah (MBS), ia memiliki kewenangan yang besar. Rabu, 26 April 2006 Menarik dibahas bagaimana dinas pendidikan dengan argumentasi sekolah sudah otonom melalui kebijakan MBS bisa begitu saja melempar masalah kepada bawahan. Bukan bermaksud membela kepala sekolah yang dipecat, tapi patut dipertanyakan, apakah benar sekolah sudah otonom, sehingga ketika ada masalah, dinas pendidikan atau institusi di atasnya tidak bisa disalahkan. Model penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab terpuruknya pendidikan nasional. Intervensi pemerintah masuk sampai ke ruang kelas, sehingga kegiatan belajar-mengajar hanya menjadi sarana indoktrinasi untuk membuat kekal kekuasaan. Karena itu, ketika terjadi perubahan situasi politik yang ditandai mundurnya Soeharto dari jabatan presiden, sektor pendidikan pun mulai dibenahi. Langkah terpenting adalah digulirkannya kebijakan manajemen berbasis sekolah yang merupakan antitesis atas model sentralistik yang dianggap bermasalah. MBS mendorong otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan dan tidak hanya berhenti pada tingkat bupati atau wali kota, tapi sampai sekolah. Stakeholder sekolah, seperti orang tua murid, guru, bahkan masyarakat sekitar, yang semula pasif diharapkan mengambil alih peran yang selama ini dikuasai pemerintah. Komite sekolah dan dewan pendidikan yang lahir melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 disediakan sebagai wadah untuk menjalankan peran baru tersebut. Adanya kebijakan MBS membuat kebutuhan murid dan stakeholder yang sering terabaikan akan lebih terakomodasi. Selain itu, diyakini dapat tercipta governance, sehingga penyelenggaraan sekolah bisa lebih transparan dan akuntabel. Namun, sudah lebih dari lima tahun kebijakan MBS digulirkan, berbagai masalah yang diharapkan bisa terjawab, terutama governance, di sekolah ternyata belum banyak berubah. Stakeholder yang diharapkan bisa berperan aktif masih memainkan peran lama, yaitu sekadar pelaksana kebijakan. Komite sekolah dan dewan pendidikan yang dianggap bisa mewadahi aspirasi stakeholder ternyata tidak berfungsi. Bahkan keberadaannya menjadi masalah karena lebih mewakili kepentingan birokrasi, seperti kepala sekolah dan dinas pendidikan, yang semestinya mereka awasi. Kebijakan MBS justru membawa masalah baru dalam penyelenggaraan sekolah, terutama bagi orang tua murid. Pungutan tidak terkontrol dan praktek korupsi makin merebak. Tidak mengherankan di tengah meningkatnya anggaran untuk sektor pendidikan, keluhan orang tua murid mengenai mahalnya biaya sekolah semakin banyak terdengar. Malah, Education for All Global Monitoring Report 2005 mencatat setidaknya 2 juta lebih anak di Indonesia putus sekolah, dan salah satu penyebabnya adalah faktor biaya. Setidaknya ada beberapa penyebab otonomi sekolah melalui kebijakan MBS malah menjadi masalah baru. Pertama, pemberian otonomi hanya sampai pada tingkat kepala sekolah. Kondisi ini memungkinkan bagi birokrasi pendidikan untuk melakukan kontrol, karena melalui Kepmen Nomor 162/U/2003, pemberhentian dan pengangkatan kepala sekolah masih menjadi kewenangan mereka. Walau kepala sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan, secara struktural posisinya berada di atas komponen sekolah lainnya, seperti guru. Pelimpahan otonomi membuat kewenangan yang dimilikinya sangat besar. Apalagi belum ada mekanisme yang bisa memaksa kepala sekolah melibatkan orang tua murid dan guru dalam pembuatan kebijakan akademis apalagi finansial. Adanya komite tidak banyak membantu dalam menjaga keseimbangan kekuasaan di sekolah. Proses pembentukannya yang top-down sangat mempengaruhi bagaimana lembaga tersebut bekerja. Penentuan komite umumnya tidak atas inisiatif guru atau orang tua murid, tapi atas prakarsa kepala sekolah dengan cara mengubah BP3 atau menunjuk orang-orang yang dipercayainya. Maka keberadaan komite semakin membuat timpang karena lebih banyak bekerja untuk kepala sekolah dengan menjadi tukang stempel-nya. Akhirnya, bisa disimpulkan bahwa otonomi dalam penyelenggaraan sekolah belum berjalan. Birokrasi pendidikan, terutama dinas tingkat kecamatan ataupun kabupaten/kota, masih memegang kendali atas kepala sekolah yang dengan sendirinya telah menguasai kendali sekolah. Kedua, dalam kebijakan MBS, pemerintah sepertinya lebih mendorong privatisasi dibanding partisipasi. Ketika awal memperkenalkan kebijakan MBS kepada publik melalui iklan layanan masyarakat, pemerintah mencitrakan partisipasi dalam sekolah berarti memberi sumbangan secara material. Pada prakteknya memang yang dijadikan prioritas mobilisasi dana masyarakat, bukan menguatnya partisipasi dalam pengelolaan sekolah. Ironisnya, dana yang keluarkan oleh masyarakat tidak sepenuhnya digunakan untuk peningkatan mutu pelayanan sekolah. Ada di antaranya yang mengalir ke kantong dinas pendidikan. Dalam temuan Indonesia Corruption Watch, banyak sekolah yang secara formal memberi alokasi anggaran dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah bagi dinas atau menyediakan dana taktis untuk menjamu dan memberi uang transpor pegawai dinas yang berkunjung ke sekolah. Pada akhirnya, kebijakan MBS yang menghasilkan otonomi setengah hati tidak memberi perubahan dalam manajemen pengelolaan sekolah. Semua keputusan dilahirkan secara top-down oleh birokrasi pendidikan, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Tapi secara finansial aliran pendanaan malah dibuat bottom-up. Masyarakat secara tidak langsung dipaksa turut membiayai birokrasi pendidikan. Dari penjelasan tersebut, sungguh tidak adil apabila masalah yang muncul di sekolah diselesaikan dengan langsung memecat pengelola sekolah, seperti guru atau kepala sekolah. MBS yang sering dijadikan dasar masih berjalan setengah hati dan birokrasi pendidikan seperti dinas masih memainkan peran penting di sekolah. Karena itu, diperlukan pembenahan yang lebih serius dan tidak hanya menyangkut para pengelola sekolah, tapi juga pejabat di atasnya. Pendekatan dengan mengorbankan bawahan tidak akan membawa perubahan apa pun.


http://antikorupsi.org/indo/content/view/7923/6/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar