Senin, 04 Januari 2010

Paradigma Baru pendidikan Nasional

Paradigma Baru Pendidikan Nasional

Sistem pendidikan di Indonesia adalah keseluruhan usaha dan kegiatan pendidikan yang terjadi di lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah. Sistem itu perlu ditata agar diperoleh hasil maksimal dari seluruh kegiatan itu.
Pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan harus merupakan satu keutuhan dengan sinergi maksimal. Karena merupakan satu keutuhan maka bagaikan rantai yang kekuatannya ditentukan oleh mata rantai terlemah, sistem pendidikan mengusahakan agar semua bagiannya tidak mengandung kelemahan. Sebaliknya malahan merupakan kekuatan yang saling menunjang.
Pada waktu ini semua bagian sistem pendidikan di Indonesia mengandung banyak kelemahan. Itu sebabnya produk pendidikan tidak mewujudkan hasil yang memuaskan dan memberikan dampak positif bagi perjuangan bangsa. Itu dapat dilihat pada mutu manusia Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam rendahnya disiplin dan pengendalian diri, kemampuan hidup yang kurang efektif (apalagi efisien) dalam berbagai kejuruan dan profesi sehingga kurang ada daya saing terhadap bangsa lain, serta lemah dalam kehendak dan perbuatan. Masyarakat Indonesia tergolong masyarakat lunak (soft society) yang sangat medioker.
Baik pendidikan di lingkungan keluarga, di masyarakat maupun di sekolah belum berjalan sebagaimana mestinya. Malahan pendidikan di lingkungan keluarga, disingkat pendidikan keluarga, yang sebenarnya merupakan dasar bagi usaha pendidikan lainnya, terbukti paling banyak menunjukkan kelemahan. Sebab itu penataan sistem pendidikan harus dilakukan dengan memperbaiki mutu dan memperbanyak kegiatan pendidikan di seluruh sistem pendidikan dan terutama pendidikan keluarga. Selain itu harus terwujud koneksitas yang kongkrit antara tiga bagian sistem pendidikan itu.
Penataan struktur pendidikan tertuju terutama pada sistem pendidikan di sekolah dan di masyarakat. Perlu ada struktur dalam sistem sekolah dan sistem pendidikan masyarakat yang menjawab lebih tepat keperluan membentuk kemampuan hidup efektif untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa (survival) dalam masyarakat dunia yang makin maju dan berubah secara cepat; serta mendukung pendidikan keluarga dalam membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berkarakter kuat.
Penataan pendidikan keluarga dipengaruhi banyak faktor, seperti kondisi dan kemampuan orang tua untuk memberikan pendidikan yang baik, kemampuan ekonomi keluarga, kondisi lingkungan dan lainnya. Karena kuatnya pengaruh negara dan masyarakat terhadap keluarga, maka faktor kepemimpinan nasional dan daerah amat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan keluarga yang baik. Negara dan daerah yang berkondisi stabil serta sejahtera merupakan faktor amat penting bagi keluarga. Hal itu memungkinkan kondisi ekonomi yang baik pula bagi keluarga. Kalau kepemimpinan nasional dan daerah menunjukkan sikap dan perilaku yang patut menjadi tauladan, maka hal itu juga berpengaruh besar dalam suasana keluarga. Apalagi kalau ada usaha terarah dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberikan arahan dan pedoman bagi orang tua dalam mengasuh putera-puterinya, maka itu memperkuat usaha pendidikan keluarga secara efektif. Namun patut pula diperhatikan bahwa di masa kini dan masa depan kecenderungan kedua orang tua menempuh kehidupan karier makin besar. Hal itu akan memperkuat ekonomi keluarga, tetapi dapat berpengaruh kurang baik bagi pendidikan keluarga kalau tidak ada usaha yang mengimbangi, seperti kehadiran kakek dan nenek dalam keluarga.
Para orang tua perlu disadarkan bahwa pertumbuhan manusia sangat ditentuikan oleh pendidikan yang diperolehnya sejak dalam kandungan sampai ia dewasa, terutama sampai umur 10 tahun. Selain itu faktor gizi yang diperoleh anak sejak bayi turut menentukan pertumbuhan yang baik. Tidak kalah pentingnya adalah suasana keluarga yang riang, optimis dan penuh dinamika. Ini semua memerlukan usaha Pemerintah dan berbagai lembaga sosial dan keagamaan untuk terus menerus memberikan informasi dan pedoman kepada orang tua. Kecenderungan kalangan muda sekarang untuk mudah bercerai setelah menikah beberapa tahun dan mempunyai anak sangat merugikan pertumbuhan anak itu. Kalau menjadi kecenderungan umum, maka akan mengganggu perkembangan bangsa dalam banyak segi.
Koneksitas antara pendidikan keluarga, masyarakat dan sekolah yang berjalan baik menunjang pendidikan keluarga. Seperti pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat yang memungkinkan para orang tua berhubungan secara teratur dengan para guru sekolah dan pimpinan masyarakat akan merangsang para orang tua menjalankan fungsi pendidikannya dengan baik.
Penataan pendidikan masyarakat sebagai bagian sistem pendidikan erat hubungannya dengan penataan strukturnya. Yang terutama penting diperhatikan adalah usaha untuk memperbaiki nasib anak yatim piatu dan anak jalanan. Pemerintah bersama masyarakat harus membentuk organisasi yang mengurus anak-anak itu agar mereka mendapat pendidikan semestinya. Kegagalan negara dan masyarakat melakukan hal demikian berakibat fatal bagi masa depan bangsa, apalagi jumlah anak-anak demikian tidak sedikit. Demikian pula usaha untuk mengatur pedagang kaki lima yang sesuai dengan kepentingan mereka merupakan hal yang amat penting dan sekarang belum menunjukkan bukti keberhasilannya. Sebab utama kekurangberhasilan adalah pengaturan yang berorientasi pada kepentingan pemerintah dan kehidupan formal, bukan kepentingan pedagang kaki lima yang masih berada dalam kehidupan informal. Padahal sebenarnya di lingkungan pedagang kaki lima banyak terdapat jiwa kewirausahaan yang patut dikembangkan dan menguntungkan masa depan bangsa. Gerakan Pramuka dan Karang Taruna perlu dikembangkan terus dan ditingkatkan kemampuannya untuk memberikan pendidikan kepribadian dan kemampuan hidup. Adanya usaha masyarakat untuk mengadakan berbagai kursus dan latihan yang dapat menambah dan meningkatkan banyak kemampuan patut ditunjang dan dikembangkan terus. Sebab dalam kenyataan pendidikan sekolah tidak dalam segala hal memadai bagi kepentingan peserta didik.
Penataan pendidikan sekolah sebagai bagian sistem juga tidak lepas dari penataan strukturnya. Pada dasarnya seluruh bangsa ikut serta menunjang terlaksananya pendidikan sekolah. Namun karena masyarakat Indonesia masih rendah tingkat kesejahteraannya, maka sukar diharapkan peran masyarakat golongan bawah serta menengah-bawah untuk berperan besar dalam pembiayaan pendidikan sekolah. Padahal golongan masyarakat itu terbesar di Indonesia, sedangkan di pihak lain pendidikan merupakan usaha yang tidak murah apabila dijakankan dengan semestinya. Oleh sebab itu Negara, yaitu Pemerintah dan Pemerintah Daerah, harus memegang peran utama dalam pembiayaan pendidikan sekolah. Negara harus melihat pendidikan sebagai investasi utama bangsa yang sangat menentukan masa depan bangsa.
Negara harus menyelenggarakan pendidikan cuma-cuma mulai Taman Kanak-Kanak hingga SMP dan Madrasah Tsanawiyah. Sekali gus itu ditetapkan sebagai Wajib Belajar agar semua anak usia 4 hingga 15 tahun dapat menikmati pendidikan pra-dasar dan dasar. Apabila Negara berhasil meningkatkan kemampuan keuangannya, juga pendidikan menengah (SMA, SMK, MA, MAK) diadakan dengan cuma-cuma. Meskipun pendidikan tinggi memperoleh otonomi yang luas, termasuk dalam mengusahakan dana pembiayaan, namun dalam kenyataan masih diperlukan subsidi dari Pemerintah agar dapat dijangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Juga perlu ada penyelenggaraan beasiswa yang luas bagi mahasiswa yang berprestasi tetapi kurang kuat kondisi keuangannya.
Peran Negara yang besar dalam pendidikan tidak menutup peran masyarakat yang dilakukan oleh kalangan swasta. Peran swasta itu harus memenuhi sekurang-kurangnya standard minimum dari tingkat pendidikan yang diselenggarakan. Karena keterbatasan dana pemerintah, maka swasta sejauh mungkin mengusahakan kemampuan pembiayaan yang otonom. Apabila peran swasta tersebut menggantikan atau melengkapi peran pemerintah, maka subsidi pemerintah diberikan atas dasar prestasi yang ditunjukkan.
Sistem sekolah dimulai dengan pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK) yang disebut sebagai pendidikan pra-dasar. Taman Kanak-Kanak merupakan pendidikan amat penting untuk menjamin agar pertumbuhan anak, khususnya dalam menguasai ilmu pengetahuan, berjalan dengan baik. Oleh sebab itu sebaiknya semua anak mengunjungi TK sebelum menjalani pendidikan dasar.
Dalam struktur pendidikan Sekolah Dasar (SD) merupakan tingkat pertama dalam pendidikan dasar. Harus diusahakan agar sekurang-kurangnya pendidikan tiga tahun pertama SD mewujudkan standard minimal secara nasional. Dalam tiga tahun itu diletakkan dasar kepribadian manusia Indonesia yang di satu sisi mempunyai sifat nasional melalui pelajaran bahasa Indonesia dan matematika serta berhitung, tetapi di sisi lain mempunyai sifat daerah masing-masing melalui pelajaran bahasa dan budaya daerah. Dengan begitu semboyan Bhinneka Tunggal Ika diwujudkan secara kongkrit. Sifat nasional itu diperkuat melalui pendidikan kesenian, olahraga dan budi pekerti yang membuat peserta didik mampu mengembangkan diri secara individual tetapi sekali gus menyadari dan biasa hidup dalam kebersamaan. Pendidikan agama disampaikan untuk mengantarkan peserta didik memahami dan melaksanakan agamanya masing-masing. Kalau ada standard minimum bagi pendidikan itu dan dapat diwujudkan di seluruh Indonesia, maka lambat laun akan tercipta Manusia Indonesia Baru yang berkepribadian Indonesia dan sanggup berkiprah dalam dinamika umat manusia yang diliputi perubahan serba cepat dan bervariasi. Kuncinya terletak pada Guru Kelas yang membimbing peserta didik secara dekat dan penuh perhatian dengan berorientasi serta berfokus kepada peserta didik.
Tiga tahun berikut dalam pendidikan SD mulai diletakkan landasan kokoh bagi penguasaan ilmu pengetahun tanpa mengabaikan pengembangan kepribadian. Pelajaran sains yang mulai diberikan dalam ilmu fisika dan biologi harus membawa peserta didik pada perkembangan modern kedua ilmu itu. Pelajaran bahasa Indonesia dan daerah dilanjutkan dan diperkokoh penguasaannya melalui kemampuan menulis, membaca dan bercerita. Perlu diperhatikan pelajaran ilmu bumi atau geografi agar peserta didik memahami dan menyadari tempatnya dalam ruang daerah ia tinggal, ruang nasional negaranya dan ruang internasional. Juga tak boleh diabaikan pelajaran sejarah agar peserta didik paham dan sadar akan perkembangan bangsanya dalam ruang lingkup umat manusia. Faktor internasional mulai masuk melalui keharusan belajar bahasa Inggeris ditambah dengan membuat pilihan untuk belajar bahasa Arab atau Cina. Pendidikan kesenian, olahraga, agama dilanjutkan, sedangkan pendidikan budi pekerti diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Apabila kondisi memungkinkan setiap mata pelajaran diajarkan Guru Mata Pelajaran, sedangkan Guru Kelas tetap ada untuk membimbing peserta didik dan memperkuat pendidikan budi pekerti. Apabila kondisi kurang memungkinkan pembelajaran dilakukan semua oleh Guru Kelas, kecuali pendidikan olahraga dan agama.
Tingkat kedua dalam pendidikan dasar adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Sebenarnya SMP harus merupakan bagian dari pendidikan menengah. Namanya saja sudah menunjukkan itu, tetapi rupanya para pembuat undang-undang di Indonesia lebih sepakat untuk menjadikannya bagian dari pendidikan dasar. Akan tetapi bagaimana pun juga SMP dan MTs bukanlah pendidikan dasar biasa, melainkan pendidikan dasar lanjutan. Sebab itu pelaksanaan pendidikan harus berbeda dari SD. SMP adalah sekolah di mana peserta didik mulai mengambil keputusan apakah nanti akan menempuh terus pendidikan umum yang menuju ke pendidikan tinggi. Atau memilih untuk secepat mungkin mempunyai keahlian kejuruan yang memungkinkannya mendapat pekerjaan dan penghasilan. Sebab itu di SMP peserta didik disiapkan apakah selepas sekolah itu akan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) atau ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Di lingkungan pendidikan keagamaan adalah Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Terutama di kelas 3 SMP ditentukan pilihan itu.
Pendidikan ilmu pengetahuan makin diperluas di SMP, demikian pula pendidikan bahasa Indonesia dan bahasa asing serta pendidikan kesenian. Pendidikan olahraga meningkatkan kemampuan berolahraga. Pendidikan agama memperdalam penanaman spiritual intelligence. Ini semua mmperkuat dasar peserta didik untuk pendidikan selanjutnya.
Sebenarnya dalam UUD no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional SMP hanya bersifat pendidikan dasar umum. Akan tetapi dalam kenyataan, terutama di daearh luar Jawa, sangat dirasakan keperluan adanya SMP Kejuruan. Cukup banyak pemuda yang tidak berminat dan tidak dalam kondisi yang sesuai untuk melanjutkan pendidikan setelah SMP dan ingin cepat bekerja serta memperoleh penghasilan. Sebab itu perlu ada SMP Kejuruan yang memenuhi keperluan itu. SMP Kejuruan dapat mengambil kejuruan teknik, pertanian, perikanan, ekonomi (khususnya perdagangan dan koperasi) yang lulusannya dengan keahliannya amat dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan Indonesia. Mungkin hal ini akan berubah apabila masyarakat Indonesia makin maju dan makin sejahtera. Pada waktu itu mungkin sekali SMP Kejuruan tidak diperlukan lagi. Akan tetapi kondisi masyarakat demikian baru akan terwujud paling cepat 20 tahun yang akan datang.
Pendidikan menengah merupakan susunan berikut dalam sistem sekolah. Pendidikan menengah terbagi dalam pendidikan menengah umum yang dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) serta pendidikan menengah kejuruan yang dilakukan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK)..
SMA dan MA pada dasarnya merupakan pendidikan yang menyiapkan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan di pendidikan tinggi di kemudian hari. Akan tetapi dalam kondisi Indonesia sekarang ternyata bahwa sekitar 80 prosen lulusan SMA tidak melanjutkan di pendidikan tinggi, melainkan langsung mencari pekerjaan dan penghasilan. Hal ini disebabkan aneka ragam alasan, antara lain kemampuan financial, daya tampung pendidikan tinggi, mutu pendidikan SMA yang kurang memadai. Agar pendidikan SMA tetap relevan dengan keperluan masyarakat yang kongkrit, maka perlu ada penyelenggaraan pendidikan yang memang menyiapkan peserta didik untuk menjadi calon mahasiswa dan yang lain adalah memberikan dasar pengetahuan tingkat pendidikan menengah serta kemampuan untuk bekerja setelah itu. Andai kata dapat dibangun SMK dalam jumlah banyak, jauh lebih banyak dari SMA, mungkin pendekatan demikian tidak diperlukan karena peserta didik yang hendak langsung bekerja dapat masuk SMK. Akan tetapi dalam kenyataan jumlah SMK terbatas karena pembangunan SMK mahal dan jauh lebih mahal dari pembangunan SMA. Oleh sebab itu masih akan lama sebelum jumlah SMK memadai untuk menampung semua peserta didik yang ingin langsung bekerja setelah menyelesaikan pendidikan menengah. Atas dasar itu perlu ada SMA Normal, yaitu yang menyiapkan peserta didik untuk ke pendidikan tinggi, dan SMA Kerja yang di samping memberikan pengetahuan tingkat pendidikan menengah juga menyiapkan peserta didik untuk bekerja. Malahan tidak mustahil kalau yang diperlukan lebih banyak SMA Kerja dari pada SMA Normal. Di samping itu perlu diadakan SMA Unggul, yaitu SMA Normal yang unggul penyelenggaraannya dan menampung lulusan SMP yang unggul pula. SMA Unggul diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi dan meningkatkan jumlah ilmuwan dan teknolog bermutu tinggi.
SMK menyelenggarakan pendidikan yang membentuk ahli kejuruan aneka ragam yang diperlukan masyarakat. Sebab itu SMK sejak permulaan amat spesialistis sifatnya. Ada SMK Teknik dengan aneka ragam jurusan seperti Listrik, Bangunan, Komputer, Kimia, dll. SMK Rumah Tangga, SMK Pertanian, SMK Perikanan, SMK Kelautan, SMK Ekonomi dan lainnya, masing-masing dengan jurusannya yang juga spesialistis. Perbedaan dengan SMA Kerja adalah bahwa SMA Kerja tidak menyiapkan ahli kejuruan. Sebab yang dimaksudkan dengan ahli kejuruan adalah mereka yang dapat meraih sertifikat dalam kejuruan tertentu. Sedangkan ujian sertifikasi dilakukan oleh Badan Sertifikasi yang perlu dibentuk, terdiri dari pihak Pemerintah, dunia usaha dan Asosiasi Profesi. Sertifikasi itu menjaga relevansi SMK dalam dunia usaha dan menjamin bahwa pemegang sertifikat akan mudah tertampung dunia usaha di seluruh Indonesia dan bahkan di wilayah ASEAN kalau sudah ada kerjasama antar negara ASEAN dala sertifikasi. Meskipun pada dasarnya kemampuan untuk meraih sertifikat dibentuk melalui SMK, namun tidak menutup kemungkinan bahwa ada orang bukan lulusan SMK dapat pula memperoleh itu, mungkin melalui penyiapan diri sendiri. Akan tetapi hal itu akan amat langka karena pencapaian sertifikat tidak mudah. Meskipun kebanyakan lulusan SMP Kejuruan akan langsung bekerja, tetapi tidak boleh ditutup kemungkinan bagi mereka yang berminat belajar lagi untuk masuk SMK Sejenis. Hal itu harus dimungkinkan dengan memenuhi segala persyaratan yang diadakan oleh SMK bersangkutan, termasuk ujian teori dan praktek.
Tahap berikut dalam struktur sistem sekolah adalah pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi terbagi dalam pendidikan akademik, pendidikan professional dan pendidikan vokasional.yang dilakukan di Universitas, Sekolah Tinggi, Akademi, Politeknik dan lembaga pendidikan lain.
Pendidikan akademik membentuk sarjana dalam disiplin ilmu tertentu selama 4 tahun dan lulusannya yang disebut Sarjana Satu (S1) dapat melanjutkan ke pendidikan Sarjana Dua (S2) atau pendidikan Magister. Kemudian Sarjana Dua yang memenuhi penilaian dapat melanjutkan ke pendidikan Sarjana Tiga (S3) atau Doktor.
Pendidikan professional membentuk sarjana menguasai professi atau spesialisasi tertentu yang diselenggarakan oleh Asosiasi Professi bersama perguruan tinggi.
Pendidikan vokasional membentuk ahli yang cakap dalam vokasi tertentu dan sifatnya spesialistis. Pendidikan vokasional yang berlangsung satu tahun menghasilkan lulusan dengan tingkat Diploma Satu (D1), yang berlangsung dua, tiga dan empat tahun masing-masing menghasilkan Diploma Dua (D2), Diploma Tiga (D3) dan Diploma Empat (D4).
Perbedaan utama antara pendidikan akademik dan vokasional terletak dalam keahlian yang dicapai lulusannya. Lulusan pendidikan akademik lebih berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahun secara teori, sedangkan lulusan pendidikan vokasional lebih pada penguasaan praktek dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Dapat dikatakan bahwa lulusan pendidikan akademik masih memerlukan pendidikan khusus untuk menjalankan pekerjaan tertentu sebelum ia dapat bekerja., yaitu pendidikan profesional dan ujian yang dilakukan oleh Asosiasi Profesi bersangkutan. Seperti Sarjana Hukum harus lulus bar examination sebelum dapat menjalankan pekerjaan sebagai advokat. Sedangkan pemegang Diploma yang memang pendidikannya sudah terarah pada pekerjaan tertentu dapat langsung menjalankan pekerjaan itu.
Kita menganut pendidikan terbuka dan karena itu pemegang Diploma dimungkinkan masuk pendidikan akademik asalkan dipenuhi syarat-syaratnya. Begitu pula, sekalipun semua mahasiswa pendidikan akademik dan vokasional pada dasarnya adalah lulusan SMA, namun tidak ditutup kemungkinan bagi lulusan SMK untuk masuk pendidikan tinggi baik akademik maupun vokasional asalkan syarat-syaratnya dipenuhi. Bahkan seorang lulusan SMP Kejuruan yang sudah bekerja lama dan menunjukkan hasil pekerjaan menonjol tidak mustahil diidzinkan menempuh ujian masuk dalam pendidikan vokasional yang sejenis dengan pekerjaan orang itu.
Dalam masyarakat modern yang sifatnya industri atau paska-industri seorang sarjana tidak dipandang lebih tinggi dari pemegang Diploma karena kesarjanaannya, atau bahkan lulusan SMK yang terkenal keahliannya . Tidak jarang pemegang Diploma (di Jerman lulusan Fach Hochschule) atau lulusan SMK (seperti di Belanda Middelbare Technische School) dalam dunia industri mendapat gaji jauh lebih tinggi dari sarjana, bahkan doctor.
MUTU PENDIDIKAN
Sesuai dengan tujuannya maka pendidikan harus bermutu; pendidikan yang tidak bermutu malahan membuat manusia yang bertentangan sikap dan perilakunya serta kemampuannya dengan keperluan masyarakat, negara dan bangsa. Kalau sekarang keadaan bangsa Indonesia begitu kacau, tidak kenal disiplin dan aturan, kurang menguasai kemampuan yang diperlukan masyarakat dan kurang kemampuan berbuat positif, maka iu semua adalah hasil pendidikan masa lampau yang hingga sekarang tidak bermutu.
Kalau bangsa Indonesia hendak merobah nasibnya dan lebih mampu bergerak secara efektif dan produktif dalam percaturan dunia, maka bangsa Indonesia harus sanggup memperbaiki pendidikannya. Itupun hasilnya baru akan diperoleh sekitar satu generasi atau 20 tahun setelah proses itu dimulai.
Terlebih dahulu bangsa Indonesia, khususnya para pemimpinnya dalam setiap aspek kehidupan masyarakat serta di semua tingkatan kehidupan, harus bersedia untuk lebih berorientasi kepada mutu atau kualitas kehidupan. Harus ada dorongan pada para pemimpin untuk selalu mengusahakan dan mencapai yang terbaik. Sebab pendidikan merupakan usaha seluruh bangsa dan bukan hasil beberapa sekolah belaka.
Mutu pendidikan merupakan hasil sinergi dari pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat dan pendidikan sekolah yang masing-masing berusaha mencapai hasil maksimal dalam usaha serta kegiatan mereka. Mutu pendidikan dapat dilihat secara relatif maupun absolut. Pendidikan bermutu secara absolut kalau menghasilkan sumberdaya manusia, baik secara individual maupun kolektif, yang mampu berbuat terbaik bagi masyarakat, negara, bangsa dan dirinya sehingga menghasilkan tujuan perjuangan bangsa, yaitu kehidupan yang sejahtera, maju dan berkeadilan berdasarkan Pancasila. Pendidikan dapat dikatakan bermutu scara relatif apabila dapat menghasilkan sumberdaya manusia, baik secara individual maupun kolektif, yang dapat bersaing secara positif dan efektif dengan bangsa-bangsa lain di dunia, khususnya bangsa-bangsa yang hidup di sekitarnya di Asia Tenggara. Pada waktu ini baik mutu relatif maupun absolut belum tercapai.
Mutu pendidikan keluarga sangat ditentukan peran orang tua, tetapi juga semua factor yang mempengaruhi kehidupan keluarga dan kemampuan orang melakukan pendidikan yang baik. Termasuk kondisi masyarakat dan negara yang kondusif bagi kondisi keluarga, dalam semua aspek kehidupan. Sebab itu pendidikan keluarga secara tidak langsung dipengaruhi oleh mutu kepemimpinan nasional yang membawa negara dalam kondisi yang aman tenteram dan sejahtera. Adanya ekonomi nasional yang dapat memberikan kesempatan kerja dan penghasilan teratur bagi orang tua amat penting. Demikian pula masyarakat yang aman memudahkan para orang tua menjalankan kewajiban pendidikan mereka. Terutama kondisi moralitas bangsa sangat berpengaruh sebagai kondisi lingkungan yang mendukung pendidikan keluarga yang baik. Akan amat membantu apabila negara dan masyarakat melalui berbagai lembaga sosial dan keagamaan membantu para orang tua dengan pemberian pedoman dan bantuan. Kemudian sikap para orang tua sendiri terhadap pentingnya pendidikan bagi puteranya mnjadi penentu mutu pendidikan keluarga. Sebab pendidikan keluarga sudah mulai ketika orang tua mulai berpasangan membentuk keutuhan harmonis. Dilanjutkan dengan pendidikan anak sebelum lahir dan diteruskan setelah lahir. Perhatian dan kasih sayang orang tua terhadapa anak disertai pembentukan dasar dari jasmani dan rohani anak melalui makanan yang bergizi serta bimbingan yang tepat sangat besar artinya. Kemudian mmbimbing anak untuk bersosialisasi melalui pendidikan dalam masyarakat yang dilakukan melalui kelompok main (playgroup). Dilanjutkan pada umur 4 tahun masuk Taman Kanak-kanak dan seterusnya ke jenjang sistem sekolah. Sekalipun anak sudah sekolah pendidikan keluarga tetap penting sampai umur 15 tahun, karena anak lebih panjang waktu dihabiskan di lingkungan keluarga dari pada di sekolah. Meskipun peran ayah selalu penting, tetapi peran ibu masih lebih penting. Sebab itu ibu yang berkarier tidak boleh mengabaikan perhatiannya yang memadai untuk anak. Demikian pula perhatian orang tua kepada semua anak secara adil setelah anak pertama disusuloleh yang berikut. Untuk menjaga kemampuan orang tua maka sebaiknya jumlah anak dibatasi maksimal tiga orang. Kasih sayang orangtua, terutama ibu, akan terus memberikan dampaknya yang positif dalam kehidupan anak.
Mutu pendidikan masyarakat sangat dipengaruhi kepemimpinan yang berjalan dalam masyarakat, seperti kepemimpinan dari atas sampai bawah dalam Gerakan Pramuka dan Karang Taruna. Juga makin banyaknya LSM akan besar pengaruhnya terhadap faktor pendidikan masyarakat kalau pimpinan LSM bermutu, artinya memberikan tauladan positif yang dapat ditiru. Kemampuan bangsa dlam berbagai bidang banyak dipengaruhi oleh berbagai kursus dan latihan yang diselenggarakan dalam masyarakat, sedangkan itu semua banyak ditentukan oleh kepemimpinan organisasi itu.
Mutu pendidikan sekolah banyak sekali dipengaruhi oleh pendidikan keluarga dan penyelenggaraan TK serta SD, khususnya 3 tahun pertama SD. Peran dan mutu Guru Kelas sangat dominant dalam memghasilkan mutu iu. Sebab itu pendidikan guru untuk menjadi Guru Kelas yang efektif sangat diperlukan . Hal ini terutama berpengaruh terhadap kepribadian dan budi pekerti peserta didik.
Guru Mata Pelajaran (MP) yang bermutu mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan para peserta didik. Sebab itu sebaiknya Guru MP diambil dari sarjana yang studi dalam MP tersebut atau sangat berhubungan dengan MP itu. Kemudian ditambah dengan pendidikan untuk memperoleh sertifikat mengajar. Ini berlaku dari mulai SD kelas 4 hingga SMA dan SMK. Mutu ilmiah para guru MP dipelihara dan ditingkatkan melalui pendidikan ulangan .
Peran Kepala Sekolah dan Komite Sekolah berperan penting agar penyelenggaraan sekolah berjalan sebaik-baiknya. Pemilihan Kepala Sekolah harus dilakukan secara saksama dengan memperhatikan track record sebagai pendidik maupun sebagai pemimpin yang mamu berperilaku positif dalam pergaulan. Bersama Komite Sekolah, Kepala Sekolah menciptakan suasana sekolah yang paling kondusif untuk pendidikan yang baik. Dan memimpin para guru dalam mendidik peserta didik dengan memungkinkan peserta didik mengembangkan kemampuannya secara maksimal.
Untuk SMK peran Badan Sertifikasi yang dibentuk Pemerintah bersama dunia usaha dan Asosiasi Profesi harus menjamin mutu SMK agar lulusannya dapat meaih sertifikat kejuruan.
Mutu pendidikan tinggi tidak lepas pula dari kepemimpinan dan manajemen para Rektornya bersama Majelis Wali Amanah atau Dewan Kurator. Hubungan erat antara para dosen dengan mahasiswa berdampak baik kepada perkembangan ilmu pengetahuan maupun kepribadian mahasiswa. Penyelenggaraan riset yang luas dan intensif meningkatkan mutu pendidikan tinggi, khususnya pendidikan profesional. Dorongan kepada mahasiswa agar aktif dalam penulisan makalah ilmiah serta usaha untuk memasukkan makalah dalam Jurnal Akademi menunjang perkembangan mutu pendidikan tinggi. Juga adanya berbagai Asosiasi Profesi yang secara aktif mendorong perkembangan profesi masing-masing merupakan dorongan langsung maupun tidak langsung untuk penjagaan mutu pendidikan tinggi. Demikian pula adanya kerjasama dengan pendidikan tinggi luar negeri.
Selain pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan juga amat penting penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggeris. Hal itu berpengaruh kepada cara berpikir dan kemampuan mengekspresikan diri serta berkomunikasi.
Para Kepala Sekolah mulai TK hingga pendidikan menengah dan pimpinan pendidikan tinggi beserta para guru dan dosen harus dapat merangsang dan mendorong peserta didik agar bersedia mengembangkan dirinya secara maksimal agar dapat berprestasi dalam berbagai bidang, baik ilmu pengetahuan, kesenian maupun olahraga. Perkembangan peserta didik sebagai individu itu disertai kesediaan dan kemampuan untuk selalu hidup dalam kebersamaan dan menyadari bahwa kehidupan sangat bersifat holistik. Salah satu indikasi bahwa Indonesia masih tertinggal dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terlihat dalam kenyataan belum adanya seorang Indonesia memperoleh Hadiah Nobel dalam salah satu cabang disiplin ilmu.
Sinergi antara pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat dan pendidikan sekolah diwujudkan dengan partisipasi para orang tua dalam kegiatan sekolah dan organisasi masyarakat. Demikian pula partisipasi lembaga sekolah dengan berbagai kegiatan masyarakat. Konektivitas itu akan meningkatkan dampak positif dari pendidikan di semua bagian masyarakat.
Pendidikan keagamaan Islam amat besar pengaruhnya kepada mutu pendidikan nasional secara keseluruhan, mengingat besarnya jumlah peserta didik yang menempuh pendidikan itu. Kalau MI, MTs, MA dan MAK tidak memberikan pendidikan umum dan kejuruan yang hasilnya menyamai hasil SD, SMP, SMA dan SMK, maka akibatnya adalah bahwa terjadi dualisme yang serieus akibatnya bagi perkembangan bangsa. Apalagi kalau di pondok pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan lain diberikan pendidikan yang menciptakan sikap hidup serta perilaku yang bertentangan dengan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa di masa lalu banyak lembaga pendidikan keagamaan Islam kurang menyadari hal ini dapat dilihat pada keadaan bangsa kita dewasa ini. Para pemimpin yang mengendalikan pendidikan keagamaan Islam hendaknya memahami hal ini dan menempuh langkah-langkah yang sudah ditempuh oleh rekan mereka yang sudah sadar akan hal ini dan telah berbuat yang tepat. Sayang sekali mereka masih sedikit jumlahnya.
Juga pendidikan agama dan budi pekerti amat besar perannya kepada mutu pendidikan nasional. Sampai saat ini harus dikatakan bahwa pelaksanaan pendidikan semua agama dan pendidikan budi pekerti masih kurang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan agama masih lebih banyak berorientasi kepada penonjolan diri serta ritual agama masing-masing dari pada menciptakan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence ) pada peserta didik. Demikian pula pendidikan agama masih kurang dampaknya kepada pembentukan budi pekerti peserta didik, padahal itu seharusnya merupakan bagian penting pendidikan agama. Itu berarti bahwa kebanyakan guru agama belum menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya dan bahwa pendidikan yang mereka terima untuk menjadi guru agama masih perlu perbaikan. Memperhatikan hal itu maka sebaiknya pendidikan budi pekerti diintegrasikan dalam semua mata pelajaran dan diberikan secara langsung atau tidak langsung oleh semua guru. Terutama peran Guru Kelas dalam pendidikan budi pekerti perlu ditekankan. Kecerdasan spiritual dan mutu budi pekerti yang tinggi amat penting bagi masa depan bangsa, agar ilmu pengetahun dan teknologi tersalur ke arah yang benar dan positif bagi perkembangan negara dan bangsa..
http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=637

Manajemen berbasis kepala sekolah

Manajemen Berbasis Kepala Sekolah

Rabu, 26 April 2006
Kekecewaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas buruknya kondisi Sekolah Dasar Negeri 01 Pulau Kelapa berbuah bencana bagi Juhri Usman yang menjabat sebagai kepala sekolah di sekolah tersebut. Dinas Pendidikan DKI Jakarta memecatnya, karena dia dinilai tidak sigap dan berperhatian terhadap sekolah yang dipimpinnya, padahal di era manajemen berbasis sekolah (MBS), ia memiliki kewenangan yang besar. Rabu, 26 April 2006 Menarik dibahas bagaimana dinas pendidikan dengan argumentasi sekolah sudah otonom melalui kebijakan MBS bisa begitu saja melempar masalah kepada bawahan. Bukan bermaksud membela kepala sekolah yang dipecat, tapi patut dipertanyakan, apakah benar sekolah sudah otonom, sehingga ketika ada masalah, dinas pendidikan atau institusi di atasnya tidak bisa disalahkan. Model penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab terpuruknya pendidikan nasional. Intervensi pemerintah masuk sampai ke ruang kelas, sehingga kegiatan belajar-mengajar hanya menjadi sarana indoktrinasi untuk membuat kekal kekuasaan. Karena itu, ketika terjadi perubahan situasi politik yang ditandai mundurnya Soeharto dari jabatan presiden, sektor pendidikan pun mulai dibenahi. Langkah terpenting adalah digulirkannya kebijakan manajemen berbasis sekolah yang merupakan antitesis atas model sentralistik yang dianggap bermasalah. MBS mendorong otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan dan tidak hanya berhenti pada tingkat bupati atau wali kota, tapi sampai sekolah. Stakeholder sekolah, seperti orang tua murid, guru, bahkan masyarakat sekitar, yang semula pasif diharapkan mengambil alih peran yang selama ini dikuasai pemerintah. Komite sekolah dan dewan pendidikan yang lahir melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 disediakan sebagai wadah untuk menjalankan peran baru tersebut. Adanya kebijakan MBS membuat kebutuhan murid dan stakeholder yang sering terabaikan akan lebih terakomodasi. Selain itu, diyakini dapat tercipta governance, sehingga penyelenggaraan sekolah bisa lebih transparan dan akuntabel. Namun, sudah lebih dari lima tahun kebijakan MBS digulirkan, berbagai masalah yang diharapkan bisa terjawab, terutama governance, di sekolah ternyata belum banyak berubah. Stakeholder yang diharapkan bisa berperan aktif masih memainkan peran lama, yaitu sekadar pelaksana kebijakan. Komite sekolah dan dewan pendidikan yang dianggap bisa mewadahi aspirasi stakeholder ternyata tidak berfungsi. Bahkan keberadaannya menjadi masalah karena lebih mewakili kepentingan birokrasi, seperti kepala sekolah dan dinas pendidikan, yang semestinya mereka awasi. Kebijakan MBS justru membawa masalah baru dalam penyelenggaraan sekolah, terutama bagi orang tua murid. Pungutan tidak terkontrol dan praktek korupsi makin merebak. Tidak mengherankan di tengah meningkatnya anggaran untuk sektor pendidikan, keluhan orang tua murid mengenai mahalnya biaya sekolah semakin banyak terdengar. Malah, Education for All Global Monitoring Report 2005 mencatat setidaknya 2 juta lebih anak di Indonesia putus sekolah, dan salah satu penyebabnya adalah faktor biaya. Setidaknya ada beberapa penyebab otonomi sekolah melalui kebijakan MBS malah menjadi masalah baru. Pertama, pemberian otonomi hanya sampai pada tingkat kepala sekolah. Kondisi ini memungkinkan bagi birokrasi pendidikan untuk melakukan kontrol, karena melalui Kepmen Nomor 162/U/2003, pemberhentian dan pengangkatan kepala sekolah masih menjadi kewenangan mereka. Walau kepala sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan, secara struktural posisinya berada di atas komponen sekolah lainnya, seperti guru. Pelimpahan otonomi membuat kewenangan yang dimilikinya sangat besar. Apalagi belum ada mekanisme yang bisa memaksa kepala sekolah melibatkan orang tua murid dan guru dalam pembuatan kebijakan akademis apalagi finansial. Adanya komite tidak banyak membantu dalam menjaga keseimbangan kekuasaan di sekolah. Proses pembentukannya yang top-down sangat mempengaruhi bagaimana lembaga tersebut bekerja. Penentuan komite umumnya tidak atas inisiatif guru atau orang tua murid, tapi atas prakarsa kepala sekolah dengan cara mengubah BP3 atau menunjuk orang-orang yang dipercayainya. Maka keberadaan komite semakin membuat timpang karena lebih banyak bekerja untuk kepala sekolah dengan menjadi tukang stempel-nya. Akhirnya, bisa disimpulkan bahwa otonomi dalam penyelenggaraan sekolah belum berjalan. Birokrasi pendidikan, terutama dinas tingkat kecamatan ataupun kabupaten/kota, masih memegang kendali atas kepala sekolah yang dengan sendirinya telah menguasai kendali sekolah. Kedua, dalam kebijakan MBS, pemerintah sepertinya lebih mendorong privatisasi dibanding partisipasi. Ketika awal memperkenalkan kebijakan MBS kepada publik melalui iklan layanan masyarakat, pemerintah mencitrakan partisipasi dalam sekolah berarti memberi sumbangan secara material. Pada prakteknya memang yang dijadikan prioritas mobilisasi dana masyarakat, bukan menguatnya partisipasi dalam pengelolaan sekolah. Ironisnya, dana yang keluarkan oleh masyarakat tidak sepenuhnya digunakan untuk peningkatan mutu pelayanan sekolah. Ada di antaranya yang mengalir ke kantong dinas pendidikan. Dalam temuan Indonesia Corruption Watch, banyak sekolah yang secara formal memberi alokasi anggaran dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah bagi dinas atau menyediakan dana taktis untuk menjamu dan memberi uang transpor pegawai dinas yang berkunjung ke sekolah. Pada akhirnya, kebijakan MBS yang menghasilkan otonomi setengah hati tidak memberi perubahan dalam manajemen pengelolaan sekolah. Semua keputusan dilahirkan secara top-down oleh birokrasi pendidikan, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Tapi secara finansial aliran pendanaan malah dibuat bottom-up. Masyarakat secara tidak langsung dipaksa turut membiayai birokrasi pendidikan. Dari penjelasan tersebut, sungguh tidak adil apabila masalah yang muncul di sekolah diselesaikan dengan langsung memecat pengelola sekolah, seperti guru atau kepala sekolah. MBS yang sering dijadikan dasar masih berjalan setengah hati dan birokrasi pendidikan seperti dinas masih memainkan peran penting di sekolah. Karena itu, diperlukan pembenahan yang lebih serius dan tidak hanya menyangkut para pengelola sekolah, tapi juga pejabat di atasnya. Pendekatan dengan mengorbankan bawahan tidak akan membawa perubahan apa pun.


http://antikorupsi.org/indo/content/view/7923/6/

Kekeliruan Pemahaman tentang Bimbingan dan Konseling

Kekeliruan Pemahaman tentang Bimbingan dan Konseling
Perjalanan bimbingan dan konseling menuju sebuah profesi yang handal hingga saat ini tampaknya masih harus dilalui secara tertatih-tatih. Dalam hal ini, Prayitno (2003) telah mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang berada di luar Bimbingan dan Konseling, tetapi juga banyak ditemukan di kalangan orang-orang yang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling. Kelimabelas kekeliruan pemahaman itu adalah :1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari.Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling), perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan dan Konseling lainnya.Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater.Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat insidental.Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan)4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak normal”.Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal. Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal).6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama (gejala) saja.Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada pihak yang lebih kompeten8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai “polisi sekolah”.Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa yang bersalah.Dengan kekuatan inti bimbingan dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor justru harus bertindak dan berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat mencurahkan kepentingan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat.Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli atau petugas lainPelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja .Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah itu. Di samping itu guru pembimbing harus pula memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah siswa. Guru mata pelajaran merupakan mitra bagi guru pembimbing, khususnya dalam menangani masalah-masalah belajar.Namun demikian, konselor atau guru pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor atau guru pembimbing harus mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain. Dalam menangani masalah siswa guru pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan, seperti “praktik pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional justru salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan orang lain atau ahli.11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasifSesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif, bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta layanan kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu.Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa sajaBenarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi.13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klienCara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan instrumentasiPerlengkapan dan sarana utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah “mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat.Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian.. Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.Adaptasi dan disarikan dari : Prayitno.2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta

METODE-METODE MENGAJAR SECARA KELOMPOK

METODE-METODE MENGAJAR SECARA KELOMPOK
Metode-metode mengajar yang digunakan untuk kelompok yang jumlahnya besar, sedemikian besar jumlahnya sehingga dibutuhkan teknik tersendiri untuk mengatasinya, sebab kelompok itu dipandang sebagai massa dengan segala sifat yang menjadi ciri-ciri massa. Walaupun tidak selalu bahwa guru itu menghadapi kelompok besar, namun kiranya perlu mengetahui beberapa diantaranya, karena mungkin suatu saat ia membutuhkan. Metode-metode ini lebih banyak diterapkan untuk orang dewasa.

SEMINAR

Seminar merupakan suatu pembahasan masalah secara ilmiah, walaupun topik yang dibahas adalah masalah sehari-hari. Dalam membahas masalah, tujuannya adalah mencari suatu pemecahan, oleh karena itu suatu seminar selalu diakhiri dengan kesimpulan atau keputusan-keputusan yang merupakan hasil pendapat bersama, yang kadang-kadang diikuti dengan resolusi atau rekomendasi.

Pembahasan dalam seminar berpangkal pada makalah atau kertas kerja yang telah disusun sebelumnya oleh beberapa orang pembicara sesuai dengan pokok-pokok bahasan yang diminta oleh sesuatu panitia penyelenggara. Pokok-pokok bahasan yang diminta oleh suatu penitia penyelenggara. Pokok bahasan yang telah ditentukan, akan dibahas secara teoritis dan dibagi menjadi beberapa subpokok bahasan bila masalahnya sangat luas. Pada awal seminar, dapat dibuka dengan suatu pandangan umum oleh orang berwenang (yang ditunjuk panitia) sehingga tujuan seminar terarah. Kemudian hadirin (massa) dibagi menjadi beberapa kelompok untuk membahas permasalahan lebih lanjut. Tiap kelompok dapat diserahi tugas membahas suatu sub pokok bahasan untuk dibahas dalam kelompok yang biasanya juga disebut seksi/komisi, di bawah pimpinan seorang ketua komisi (kelompok). Dari hasil-hasil kelompok, disusun suatu perumusan yang merupakan suatu kesimpulan yang dirumuskan oleh suatu tim perumus yang ditunjuk.

Pembahasan dalam seminar memakan waktu yang lebih lama karena sifatnya yang ilmiah. Apabila para pembicara tidak dapat mengendalikan diri biasanya waktu banyak dipergunakan untuk pembahasan yang kurang penting. Oleh karena itu dibutuhkan pimpinan kelompok yang menguasai persoalan sehingga penyimpangan dari pokok persoalan dapat dicegah. Penyimpangan ini dapat diatasi bila setiap kali ketua sidang menyimpulkan hasil pembicaraan sehingga apa yang akan dibicarakan selanjutnya sudah terarah.

PENGGUNAAN SEMINAR

Seminar akan efektif bila:
Tersedia waktu yang cukup untuk membahas persoalan.
Problema sudah dirumuskan dengan jelas.
Para peserta dapat diajak berfikir logis.
Problema memerlukan pemecahan yang sistematis.
Problema akan dipecahkan secara menyeluruh.
Pimpmnan sidang cukup terampil dalam mcnggunakan metode ini.
Kelompok tidak terlalu besar sehingga memungkinkan setiap peserta mengambil bagian dalam berpendapat.
Kelebihan dan kelemahan :

Kelebihan :
Membangkitkan pemikiran yang logis.
Mendorong pada analisa menyeluruh.
Prosedurnya dapat diterapkan untuk berbagai jenis problema.
Membangkitkan tingkat konsentrasi yang tinggi pada diri peserta.
Meningkatkan keterampilan dalam mengenal problema.
Kelemahan :
Membutuhkan banyak waktu.
Memerlukan pimpinan yang terampil.
Sulit dipakai bila kelompok terlalu besar.
Mengharuskan setiap anggota kelornpok untuk mempelajari terlebih dahulu.
Mungkin perlu dilanjutkan pada diskusi yang lain.
SIMPOSIUM

Simposium adalah serangkaian pidato pendek di depan pengunjung dengan seorang pemimpin. Simposium menampilkan beberapa orang pembicara dan mereka mengemukakan aspek-aspek pandangan yang berbeda dan topik yang sama. Dapat juga terjadi, suatu topik persoalan dibagi atas beberapa aspek, kemudian setiap aspek disoroti tersendiri secara khusus, tidak perlu dari berbagai sudut pandangan.

Pembicara dalam simposium terdiri dari pembicara (pembahas utama) dan penyanggah (pemrasaran banding), dibawah pimpinan seorang moderator. Pendengar diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau pendapat setelah pembahas utama dan penyanggah selesai berbicara. Moderator hanya mengkoordinasikan jalannya pembicaraan dan meneruskan pertanyaan-pertanyaan, sanggahan atau pandangan umum dari peserta. Hasil simposium dapat disebar luaskan, terutama dari pembahas utama dan penyanggah, sedangkan pandangan-pandangan umum yang dianggap perlu saja.

PENGGUNAAN SIMPOSIUM

Simposium dapat digunakan :
Untuk mengemukakan aspek-aspek yang berbeda dari suatu topik tertentu.
Jika kelompok peserta besar.
Kalau kelompok membutuhkan keterampilan yang ringkas.
Jika ada pembicara yang memenuhi syarat (ahli dalam bidang yang disoroti).
Kelebihan dan Kelemahan :

Kelebihan :
Dapat dipakai pada kelompok besar maupun kecil.
Dapat mengemukakan informnasi banyak dalam waktu singkat.
Pergantian pembicara menambah variasi dan sorotan dari berbagai segi akan menjadi sidang lebih menarik.
Dapat direncanakan jauh sebelumnya.
Kelemahan :
Kurang spontanitas dan kneatifitas karena pembahas maupun penyanggah sudah ditentukan.
Kurang interaksi kelompok.
Menekankan pokok pembicaraan.
Agak terasa formal.
Kepribadian pembicara dapat menekankan materi.
Sulit mengadakan kontnol waktu.
Secara umum membatasi pendapat pembicara.
Membutuhkan perencanaan sebelumnya dengan hati-hati untuk menjamin jangkauan yang tepat.
Cenderung dipakai secara berlebihan.
FORUM

Yang dimaksud dengan forum adalah suatu gelanggang terbuka, dimana seseorang mendapat kesempatan berbicara tentang masalah apapun. Pembicara dapat datang dari kelompok massa, dan segera setelah selesai pembicaraannya ia harus kembali ke tempat semula. Jadi dalam forum tidak ada anggota tertentu yang duduk terpisah dari pendengar, tetapi ditekankan pada pemberian kesempatan bagi setiap orang untuk mengemukakan pikiran dan perasaan di depan khalayak.

Dalam forum tidak akan diambil keputusan, melainkan sekedar meransang pendengar untuk mengemukan pemikiran baru, dimana sangat diperlukan pandangan berbagai orang. Seseorang yang maju kedepan seolah-olah memberi kesan bahwa ia adalah seorang dan sekian banyak orang yang sama-sama mencari suatu penyelesaian. Pada akhimya pimpinan forum harus mengemukakan ikhtisar pembicaraan dan sering diikuti suatu seruan kepada massa.

PENGGUNAAN FORUM

Forum digunakan sebagai suatu metode pengajaran kelompok :
Untuk memberi kesempatan interaksi kelompok.
Pada saat diperlukan kombinasi antara maksud penyajian dengan reaksi kelompok.
Jika diinginkan pandangan/tanggapan dari pengunjung.
Kalau kelompok itu sangat besar.
Kelebian dan Kelemahan :

Kelebihan :
Menambah pandangan dengan reaksi pengunjung.
Dapat dipakai terutama pada kelompok yang besar.
Dapat dipakai untuk menyajikan keterampilan yang banyak dalam waktu singkat.
Pergantian pembicara menambah vaniasi.
Reaksi pengunjung mendorong pengunjung untuk mendengarkan dengan lebih banyak perhatian.
Kelemahan :
Membutuhkan banyak waktu.
Pribadi masing-masing pembicara dapat memaksakan pada mateni yang kurang tepat.
Tanggapan dari kelompok tertunda.
Sulit mengendalikan waktu.
Periode forum mudah terulur..
PANEL

Panel merupakan salah satu bentuk diskusi yang sudah direncanakan tentang suatu topik di depan para pengunjung. Diskusi panel dibawakan oleb 3 - 6 orang yang dianggap ahli yang dipimpin oleh seorang moderator.

Para panelis berdiskusi sedemikian rupa, sehingga para pengunjung dapat mengikuti pembicaraan mereka.

Pengunjung hanya berfungsi sebagai pendengar, oleh karena itu pengunjung yang begitu besar jumlahnya dianggap sebagai kelompok yang diajar oleh suatu regu guru. Tetapi panel tidak boleh hanya sekedar merupakan pengajaran informatif, melainkan harus dapat merangsang cara berpikir massa dengan memberikan berbagai perspektif.

Pelaksanaan panel dimulai dari perkenalan para panelis oleh moderator, kemudian disampaikan persoalan umum kepada para panelis tersebut, untuk didiskusikan. Mereka seharusnya adalah orang-orang yang pandai berbicara dengan lancar dan menarik. Moderator juga memegang penanan dalam diskusi ini, sebagai pengatur jalannya pembicaraan dengan sekali-kali menyimpulkan apa yang dikemukakan oleh para panelis. Perbedaan pendapat tidak menjadi persoalan, karena pada diskusi panel tidak perlu dicapai suatu kesatuan pendapat atau keputusan. Bahkan perbedaan pendapat itulah yang diharapkan dapat memberikan stimulus bagi pendengar untuk dapat berpikir lebih jauh. Pendengar tidak hanya akan menelan pesan yang sudah jadi, melainkan dapat mengikuti proses pemikiran para panelis jalannya diskusi. Setelah diskusi selesai, pendengar dapat membentuk kelompok-kelompok untuk mendiskusikannya lebih lanjut. Akan tetapi selama diskusi panel, pendengar tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pandangan.

PENGGUNAAN PANEL

Anda dapat menggunakan panel kalau :
Ingin mengemukakan pandapat yang berbeda-beda.
Ingin memberi stimulus para pendengar akan adanya suatu persoalan yang perlu dipecahkan.
Ada panelis yang memenuhi syarat.
Pembicaraan terlalu luas untuk didiskusikan dalam kelompok itu.
Ingin mengajak pendengar melihat “ke dalam” tetapi tidak menginginkan tanggapan secara verbal.
Ada moderator yang cakap, yang dapat menguasai segala aspek dan persoalan yang dibicarakan.
Kelebihan dan Kelernahan :

Kelemahan :
Membangkitkan pikiran.
Mengemukakan pandangan yang berbeda-beda.
Mendorong ke analisis lebih lanjut.
Memanfaatkan para ahli untuk berpendapat dan proses pemikirannya dapat membelajarkan orang lain.
Kelebihan :
Mudah tersesat bila moderator tidak terampil.
Memungkinkan panelis berbicara terlalu banyak.
Tidak memberi kesempatan peserta untuk berbicara.
Cenderung menjadi serial pidato pendek.
Membutuhkan persiapan yang cukup masak.
MUSYAWARAH KERJA

Musyawarah kerja atau rapat kerja (raker) merupakan suatu pertemuan yang hanya dihadin oleh sekelompok massa tertentu yang bergerak dalam bidang kerja sejenis. Dengan massa yang lebih terbatas, raker dilaksanakan untuk saling bertukar pengalaman atau pengetahuan dalam bidang kerja masing-masing, untuk mengevaluasi program-program kerja yang telah dilaksanakan atau untuk mengadakan pembaharuan dalam bidang kerja tersebut.

Permasalahan yang akan dibahas, dipersiapkan jauh sebelumnya dengan menginventarisasi masalah dari lapangan kemudian diklasifikasikan ke dalam aspek-aspek tertentu yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut. Bila perlu pada permulaan raker didahului dengan ceramah sebagai pengarahan dari seorang nara sumber, di samping ada beberapa nara sumber lain yang sewaktu-waktu dapat memberikan bantuan bila mengalami kesulitan. Peserta dibagi atas beberapa kelompok, yang masing-masing dipimpin oleh seorang ketua kelompok. Hasil akhir sidang kelompok disampaikan pada sidang pleno (lengkap) untuk mendapatkan tinjauan umum secara menyeluruh, untuk pada akhimya diambil satu keputusan. Biasanya raker dilaksanakan selama beberapa hari (lima hari sampai seminggu), oleh karena itu di tengah-tengah raker dapat disisipi acara karyawisata, pameran, demonstrasi, diskusi panel, dan sebagainya.

PENGGUNAAN RAPAT KERJA

Rapat kerja digunakan untuk tiga hal pokok ialah :
Kalau dirasa ada kebutuhan untuk saling bertukar pengalaman.
Timbul kebutuhan untuk mengevaluasi program kerja yang telah ada untuk mengembangkan sesuatu yang baru.
Kelebihan dan kelemahan :

Kelebihan :
Persoalan yang dihadapi dapat dipecahkan bersama.
Menambah pengalaman dan hasil kerja orang lain.
Mendapatkan perkembangan-perkembangan baru di bidang kerja.
Evaluasi program akan menjadi umpan balik untuk penyempurnaan kerja.
Kelemahan :
Rapat kerja memakan waktu lama sehingga seseorang harus meninggalkan pekerjaan cukup lama.
Kalau bidang yang dibahas selalu luas, sering tidak tuntas.
Membutuhkan persiapan sistematis untuk tiap bidang kerja yang akan dievaluasi.
Kadang-kadang tidak semua masalah yang diinventarisasi dapat masuk ke panitia jauh sebelumnya.
Dengan mengenal berbagai jenis metode mengajar secara kelompok seperti tersebut di atas, pada suatu saat guru dapat melihat salah satu diantaranya bila ia akan menghadapi kelompok belajar yang merupakan massa. Tidak tertutup kemungkinan bahwa guru tidak hanya akan mengajar di dalam kelas saja, melainkan pada suatu waktu diminta untuk berinteraksi dengan kelompok yang lebih besa


http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_b13.html#top

Sertifikasi Guru dan Dosen : Suatu Harapan atau Pelecehan

Sertifikasi Guru dan Dosen : Suatu Harapan atau Pelecehan

Setelah disahkannya undang-undang guru dan dosen, yakni Undang-Undang No.14 Tahun 2005, profesi guru dan dosen kembali menjadi perhatian dikalangan banyak pihak, baik yang berkecimpung dalam dunia pendidikan maupun dikalangan pemerhati pendidikan. Mengapa tidak, kehadiran undang-undang tersebut telah menambah wacana baru akan dimantapkannya hak-hak dan kewajiban bagi guru dan dosen. Di antara hak yang paling ditunggu-tunggu selama ini adalah adanya upaya perbaikan kesejahteraan bagi guru dan dosen. Sayangnya, kehadiran undang-undang ini menemui banyak kendala dalam implementasinya, bahkan rektor UGM (Sofian Effendi) pernah mengatakan bahwa undang-undang guru dan dosen hanyalah sebuah pepesan kosong kalau urgensi dan subtansinya tidak realistis diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan (gaji) guru dan dosen.
Disamping itu, adanya beberapa pasal yang belum jelas bentuk implementasinya, khususnya pasal yang mengatur kualifikasi pendidikan dan pemberian tunjangan profesi. Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik (untuk dosen diatur dalam Pasal 45). Sertifikat pendidik ini merupakan prasyarat untuk memperoleh tunjangan profesi dan pengakuan sebagai tenaga profesional. Kemudian dalam Pasal 16 disebutkan bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Dengan demikian seorang guru atau dosen yang telah memperoleh sertifikat pendidik, akan mempdapatkan penghasilan yang terdiri dari : (1) gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji, (2) tunjangan fungsional, dan (3) tunjangan profesi. Disamping itu, guru dan dosen akan menerima tambahan penghasilan lain dalam bentuk tunjangan khusus bagi mereka yang bertugas di daerah khusus.
Kalau dikalkulasi, penghasilan guru dan dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik memang memberikan harapan kesejahteraan yang sudah cukup. Tetapi kemudian masalahnya adalah harapan ini nampaknya masih dalam bentuk fatamorgana, karena untuk memperoleh tunjangan profesi yang diidamkan itu, harus melalui proses yang panjang. Dengan kata lain guru harus menunggu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mengapa tidak, kalau dilihat dari persyaratan yang diajukan bahwa untuk memperoleh tunjangan profesi seorang guru harus mempunyai kualifikasi pendidikan serendah-rendahnya diploma empat (D4) dan harus mengikuti pendidikan profesi agar memperoleh sertifikat pendidik. Sementara itu, data dari kepegawaian (BAKN) menunjukkan bahwa ada ratusan ribu atau lebih guru-guru kita yang masih mempunyai kualifikasi pendidikan di bawah diploma empat (SLTA, SPG, PGSLTP, D1, D2, dan D3).
Dengan demikian bisa dibayangkan kalau sekiranya harus menunggu para guru yang belum memenuhi kualifikasi itu memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk implementasi undang-undang guru dan dosen. Apalagi kalau biaya untuk penyelenggaraan peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru itu diharapkan dari dana APBN atau APBD yang jumlahnya sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut, suatu pertanyaan diajukan adalah : apakah sertifikasi guru dan dosen itu suatu harapan yang bisa diwujudkan guna mendapatkan imbalan finansial (gaji) yang layak bagi guru dan dosen ataukah sebuah bentuk pelecehan terhadap profesi guru dan dosen maupun terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) ? Pertanyaan ini perlu diajukan karena paling tidak ada dua hal yang perlu dikaji berkaitan dengan pemberian tunjangan profesi.
Pertama, seorang guru atau dosen digaji berdasarkan jasanya atau sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Jadi kalau ada upaya pemerintah untuk menaikkan gaji guru dan dosen dalam bentuk pemberian tunjangan profesi, maka tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja guru dan dosen. Sama halnya alasan yang dikemukakan oleh pemerintah ketika akan menaikkan gaji pejabat atau anggota dewan, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja pejabat atau anggota dewan serta untuk menghindari adanya praktek penyalahgunaan wewenang dalam bentuk KKN (kolusi, korupsi, nepotisme). Sehingga untuk menaikkan gaji pejabat dan anggota dewan tidak perlu ada persyaratan khusus seperti harus mempunyai sertifikat tertentu. Sekedar perbandingan, bahwa gaji seorang anggota dewan pada tingkat pusat (DPR RI) untuk satu bulan bisa dipakai untuk membayar gaji guru sebanyak 30 orang.
Oleh karena itu, adalah sangat tidak pantas apabila pemberian tunjangan profesi kepada guru dan dosen disertai persyaratan harus punya sertifikat pendidik Program sertifikasi itu lebih tepat ditujukan kepada mereka yang masih berstatus calon guru ataukah guru yang belum memenuhi kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan yakni minimal diploma empat Hal ini didukung dalam Pasal 12 yang berbunyi : setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu. Pasal 12 ini sebenarnya telah mengindikasikan bahwa sertifikat pendidik itu sebaiknya diberikan kepada calon guru, bukan kepada orang yang sudah menjadi guru.
Kedua, LPTK adalah lembaga yang mendidik calon-calon tenaga guru. LPTK ini kemudian mengeluarkan dua sertifikat, yaitu Ijazah dan Akta (untuk program S1 berupa ijazah sarjana dan akta IV). Dengan demikian, kalau seorang guru atau dosen yang telah memiliki ijazah sarjana (S1) dan Akta IV apalagi dia adalah alumni dari suatu LPTK, kemudian kepadanya diharuskan lagi memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui pendidikan profesi, apakah ini bukan suatu bentuk pelecehan baik terhadap guru dan dosen ataupun terhadap LTPK itu sendiri. Sehingga, kalau hal ini tetap dilakukan berarti sertifikat pendidik itu lebih tinggi kualitasnya/nilainya daripada ijazah Akta IV. Kalau demikian halnya untuk apa ijazah akta itu dikeluarkan oleh LPTK ? Bukankah LPTK itu sebenarnya adalah suatu lembaga profesi yang tujuan utamanya adalah mendidik calon-calon guru ? Bandingkan di luar negeri yang tidak mengenal LPTK (IKIP/FKIP). Apalagi kalau pendidikan profesi itu nantinya hanya diikuti oleh guru dan dosen dalam waktu singkat, misalnya paling lama satu bulan. Kemudian mereka diuji/diberikan tes dalam bentuk soal-soal pilihan ganda atau hanya mengukur aspek kognitif yang sifatnya instan (sesaat) lalu keluar keputusan bahwa kepadanya dinyatakan lulus dan diberi sertifikat pendidik. Kalau pelaksanaannya demikian, berati program sertifikasi itu lebih kental nuansa proyeknya dari pada urgensi dan subtansinya. Tidak menutup kemungkinan bahwa sertifikat pendidik itu nantinya hanya bersifat legalitas guna mendapatkan tunjangan profesi bagi guru dan dosen.
Lebih lanjut dalam Pasal 10 disebutkan bahwa kompetensi yang dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Berdasarkan bunyi Pasal 10 ini memunculkan suatu pertanyaan bahwa apakah lulusan LPTK itu tidak mempunyai kompetensi pedagogik, sehingga harus diperoleh lagi lewat pendidikan profesi? Lalu pendidikan profesi yang dimaksud seperti apa modelnya, apa isi/materi pendidikannya dan ilmu macam apa yang diperoleh dari pendidikan itu?. Apakah masih pantas seorang guru besar (Profesor) misalnya, dengan kualifikasi pendidikan doktor (S3) dan sudah memiliki masa kerja 20 tahun masih harus mengikuti pendidikan profesi untuk memperoleh sertifikat pendidik guna mendapatkan pengakuan sebagai tenaga profesional sesuai dengan bunyi Pasal 3.
Oleh karena itu, pendidikan profesi sebaiknya ditujukan kepada lulusan non LPTK yang ingin menjadi guru atau dosen, atau kepada guru atau dosen yang bukan lulusan LPTK dan belum memiliki ijazah akta IV. Tentu langkah ini jauh lebih baik dilakukan, apabila pendidikan profesi itu memang dianggap sebagai penyempurnaan kompetensi guru dan dosen, bukan hanya ditujukan untuk memberi sertifikat pendidik kepada guru dan dosen sebagai prasyarat memperoleh tunjangan profesi. Apalagi dijadikan sebagai wahana mencari proyek baru yang beban pembiayaannya dicarikan melalui APBN atau APBD di masing-masing daerah. Adanya kegiatan para pejabat LPTK yang telah ditunjuk sebagai penyelenggara program sertifikasi untuk melalukan pertemuan (lobi) dengan pejabat PEMDA di beberapa daerah baru-baru ini, telah memunculkan anggapan bahwa rencana program sertifikasi itu lebih bersifat proyek ketimbang mempertimbangkan aspek urgensi, substansi, dan implementasinya
Dengan demikian, apabila pemerintah berkeinginan memberikan tunjangan profesi kepada guru dan dosen, maka persyaratannya bukan pada sertifikat pendidik, tetapi persyaratannya sebaiknya dalam bentuk lain, misalnya dengan memperhitungkan : (1) Kualifikasi Pendidikan, (2) Masa Kerja, dan (3) Jenjang Kepangkatan/Golongan atau Jabatan akademik. Sehingga Pasal 16 sebaiknya direvisi menjadi : Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki : (1) Kualifikasi pendidikan minimal diploma empat, (2) Masa kerja sekurang-kurangnya 5 tahun, dan (3) Memiliki kepangkatan minimal Pengatur/Golongan ruang III/c atau Guru ahli. Untuk dosen : (1) kualifikasi pendidikan minimal S2, (2) pengalaman kerja minimal 5 tahun, dan (3) memiliki kepangkatan minimal Penata/Golongan ruang III/c atau Asisten ahli.
Dengan memperhitungkan ketiga persyaratan tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi bahan pertimbangan untuk memberikan tunjangan profesi kepada guru dan dosen. Ini akan lebih realistis dan tindakan yang lebih adil daripada harus memperoleh sertifikat pendidik model baru tersebut. Apabila hal ini dilakukan berarti guru dan dosen mendapatkan tunjangan profesi atas pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan pengalaman kerja dan kualifikasi pendidikannya, dan hal itu tentu mengalami proses yang harus ditempuh oleh seorang guru atau dosen sebagai wujud nyata dari pengabdian yang dilakukannya dalam jabatan/profesinya.
Oleh karena itu, apabila pemerintah memang berkeinginan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, maka implementasi undang-undang guru dan dosen sudah seharusnya segera dilaksanakan, dan tidak perlu lagi harus menunggu program sertifikasi. Sebab program tersebut kemungkinan lebih banyak biasnya (merugikan keuangan negara) daripada manfaatnya kepada guru dan dosen. Pengalaman telah menunjukkan bahwa program Tes Kompetensi bagi guru yang telah dilakukan sejak tahun 2000 hingga 2003 hasilnya tidak banyak memberikan manfaat dan informasi yang berguna, bahkan tindak lanjut dari hasil tes kompetensi itu kurang mendapat perhatian. Guru yang telah dinyatakan kompeten maupun yang belum kompeten (berdasarkan hasil tes kompetensi) semuanya sama, yaitu mereka kembali mengajar seperti biasa, dan tidak pernah ada usaha tindak lanjut yang lebih nyata diberikan kepada guru yang dinyatakan tidak lulus atau belum kompeten itu. Ini berarti bahwa program Tes Kompetensi bagi guru hanya menghabiskan uang negara yang jumlahnya miliyaran bahkan triliyunan rupiah.
Disamping itu, adalah sungguh tidak layak jika kompetensi guru dan dosen diukur lewat tes kompetensi yang sifatnya hanya mengukur kemampuan kognitif. Kompetensi guru dan dosen tidak bisa diukur hanya lewat pemberian soal-soal kemudian dijawab dan diskor lalu diambil kesimpulan kompeten atau tidak kompeten. Kompetensi guru dan dosen bersifat holistik, menyeluruh dan meliputi banyak dimensi. Mulai dari aspek kognitif (penguasaan materi pelajaran), afektif, psikomotor, kemampuan mengajar termasuk penguasaan metodologi pembelajaran dan asesmen, prestasi belajar siswa hingga out comes suatu jenjang pendidikan. Karena itu, apabila ingin mengukurnya tidak cukup hanya memberikan soal-soal pilihan ganda kemudian dijawab dan diskor lalu diperoleh kesimpulan. Tes kompetensi guru yang dilaksanakan dalam kurung waktu 2000 hingga 2003 nampaknya hanya mengukur aspek kognitif, dan tentu saja hal ini merupakan suatu kesalahan yang besar.
Sudah cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa pemberian in service training kepada guru dalam bentuk kegiatan pelatihan/penataran dalam waktu relatif singkat dan sifatnya demonstratif tidak cukup signifikan meningkatkan kinerja, kualitas maupun profesionalisme guru. Banyak guru setelah mengikuti kegiatan pelatihan/penataran kemudian kembali ke sekolah tidak bisa berbuat banyak, bahkan mereka kembali mengajar seperti biasa tanpa adanya usaha inovatif dan kreatif untuk mengaplikasikan ilmu atau pengetahuan yang diperolehnya dari kegiatan pelatihan/penataran. Mengapa demikian, berbagai alasan klasik sering mereka kemukakan di antaranya di sekolah tidak tersedia sarana dan prasarana pendukung, biaya tidak ada, jumlah murid terlalu banyak dan sebagainya.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah (Depdiknas) merubah model-model peningkatan kualitas/kompetensi/profesionalisme bagi guru lewat penataran/pelatihan yang sifatnya demonstratif dan selalu menggunakan metode prediksi dan estimasi. Usaha peningkatan kinerja/kompetensi guru harus diarahkan kepada program yang lebih realistis, salah satunya adalah meningkatkan gaji atau kesejahteraannya. Walaupun ratusan kali seorang guru mengikuti penataran/pelatihan, kinerja guru tidak akan optimal apabila kesejahteraannya (gaji) masih sangat minim. Salah satu upaya untuk meningkatkan kinerja guru dan dosen untuk mengajar yang terbaik adalah dengan cara memberikan gaji yang layak. Kemudian setelah hal itu terpenuhi baru dilakukan tindakan pengawasan dan penegakan disiplin yang ketat, agar guru tidak lagi dijumpai berkeliaran kesana-sini pada waktu jam mengajar di sekolah dengan alasan untuk mencari tambahan penghasilan karena gaji yang diterimanya sangat minim. Demikian pula kepada para dosen, tidak perlu lagi harus hadir dimana-mana memberi kuliah di perguruan tinggi lain hanya dengan alasan menambah penghasilan.
Sebagai uraian penutup, ada beberapa hal yang disarankan: Pertama, pemerintah hendaknya segera mengimplementasikan undang-undang guru dan dosen dengan segera memberikan tunjangan profesi kepada mereka yang telah memenuhi persyaratan dengan memperhatikan : (1) Kualifikasi pendidikan, (2) Masa kerja, dan (3) Kepangkatam/Golongan atau Jabatan akademik, tidak perlu menggunakan persyaratan sertifikat pendidik. Dalam rangka itu pula, sebaiknya ditinjau kembali tentang pemberian standar gaji pokok bagi guru dan dosen. Selama ini, besarnya standar gaji pokok yang diberlakukan tidak memperhitungkan perbedaan kualifikasi pendidikan (S1,S2,S3). Besarnya gaji pokok yang diterima oleh guru atau dosen yang berpendidikan S1 sama dengan gaji pokok yang berpendidikan S2 atau S3. Perbedaannya hanya terletak pada masa kerja yang diperoleh melalui kenaikan gaji berkala. Akibatnya, banyak dosen setelah menyelesaikan pendidikan S2 apalagi S3 lebih banyak mencari pekerjaan tambahan diluar tugas pokoknya. Bahkan seringkali tugas pokoknya, yakni mengajar pada institusinya bukan lagi menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, dalam rangka implementasi undang-undang guru dan dosen sebaiknya dilengkapi standar pemberian gaji pokok dengan memperhitungkan kualifikasi pendidikan tersebut. Sehingga ada perbedaan nyata antara besarnya gaji pokok guru atau dosen yang memiliki kualifikasi pendidikan S1, S2, dan S3. Adalah sungguh tidak adil dan bijaksana kalau besarnya standar gaji pokok guru dan dosen yang berkualifikasi pendidikan S1 disamakan dengan yang berpendidikan S2 apalagi S3.
Kedua, dalam rangka untuk memenuhi persyaratan mendapatkan tunjangan profesi bagi guru yang belum memiliki kualifikasi akademik minimal diploma empat, pemerintah hendaknya segera membuat program peningkatan kualifikasi guru. Hal ini harus segera dilakukan agar guru yang belum memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan itu tidak asal mengikuti pendidikan pada salah satu perguruan tinggi dengan tujuan hanya sekedar memperoleh gelar diploma empat atau sarjana (S1), tanpa memperhatikan jurusan yang dipilih apakah sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya. Kalau hal ini terjadi, maka peningkatan kualifikasi akademik bagi guru nantinya tidak meningkatkan kualitas/kompetensinya. Dengan kata lain hanya bersifat formalitas.
Ketiga, apabila pendidikan profesi memang sangat diperlukan, maka pendidikan profesi itu sebaiknya direncanakan dan dirancang terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya mulai dari kurikulumnya sampai pada teknis pelaksanaannya, agar pelaksanaannya tidak terkesan terburu-buru yang berakibat kehilangan urgensi dan subtansinya. Disamping itu, agar isi/materi kependidikan yang ada pada kurikulum LPTK tidak tumpang tindih dengan materi/isi kurikulum pendidikan profesi tersebut. Demikian pula program pendidikan profesi yang dimaksud, hanya ditujukan kepada lulusan non LPTK yang berminat menjadi guru atau dosen ataukah yang sudah menjadi guru atau dosen dengan latar belakang pendidikan non LPTK dan belum memiliki ijazah akta IV. Kalau hal ini dilakukan berarti biaya pelaksanaan pendidikan profesi tidak lagi dibebankan kepada pemerintah, dan pelaksanaannya juga tidak bersifat instan. Tentu saja harus ada batasan yang jelas tentang kedudukan dan fungsi serta perbedaan nyata antara sertifikat pendidik dengan ijazah akta yang dikeluarkan oleh LPTK. Dengan demikian kedepan dalam rangka penerimaan calon guru baru khususnya CPNS, seorang calon harus memiliki : (1) Ijazah sarjana (S1), (2) Sertifikat pendidik (bagi lulusan non LPTK), dan (3) Ijazah akta IV.
Keempat, pemerintah perlu meninjau kembali undang-undang guru dan dosen khususnya Pasal 2(2), Pasal 3(2), Pasal10, Pasal 16 (1), Pasal 47(1c) dan Pasal 53(1), agar isi undang-undang tersebut tidak menimbulkan masalah baru yang memberatkan bagi guru dan dosen. Tanpa adanya revisi pada pasal-pasal tersebut akan menimbulkan kesan bahwa kehadiran undang-undang tersebut hanya sebagai ajang memunculkan ide proyek baru, bukannya meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen.
http://blog.uad.ac.id/tole/tag/sertifikasi-guru-dan-dosen/

Guru sulit terapkan standar pembiayaan

Guru sulit terapkan standar pembiayaan
Standar Pembiayaan yang hanya mencakup biaya operasional SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA negeri dan swasta yang tengah dibahas dalam uji publik oleh stake holder dinilai sejumlah peserta uji publik terlalu detail atau rinci. Para peserta pun khawatir dengan draft seperti itu akan sulit diterapkan oleh sekolah. Karena itu, sangat disayangkan.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dalam diskusi mengenai paparan tim ahli standar biaya pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menjelang diskusi kelompok sesaat setelah dibuka Ketua BSNP Prof Dr Yunan Yusuf dalam pembukaan Uji Publik Standar Pembiayaan yang diikuti stake holder pendidikan dari seluruh Indonesia, Jumat (15/12).
"Kalau saya pelajari draft naskah akademik standar pembiayaan yang memuat secara dan begitu rinci pembiayaan sejumlah komponen operasional pendidikan, saya khawatir tidak dapat dilaksanakan di lapangan. Kalau pun bisa, mungkin akan banyak pelanggaran yang dilakukan kepala sekolah atau guru di sekolah," jelas Dr. Fathoni Rozly, peserta dari Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Pusat.
Menurut dia, seharusnya tim ahli perumus standar pembiayaan BSNP ini tidak menyusun naskah akademik seperti ini. Sebab, akan sulit dilaksanakan oleh kepala sekolah atau guru. Karena itu, perlu direvisi karena dikhawatirkan jika draft naskah akademik ini selesai dibahas dan direkomendasikan kepada pemerintah sebagai peraturan pemerintah atau peraturan menteri akan sangat merepotkan sekolah.
Fathoni juga menyatakan kesalutannya kepada tim ahli yang telah membuat draft naskah akademik ini. Namun dia balik bertanya apakah perbandingan biaya yan diperoleh dari sejumla daerah di Indonesia sudah sangat valid atau sesuai dengan kondisi saat ini. Apalagi kalau dikaitkan dengan komitmen pemerintah daerah terhadap anggaran pendidikan.
Menanggapi masalah ini ketua tim ahli standar biaya pendidikan Dr. Ninasapti Triaswati yang juga dosen pada fakultas ekonomi Universitas Indonesia itu mengatakan, draft naskah akademik ini memang sudah disusun sedemikian rupa dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari informasi dan data yang diperoleh di lapangan.
Ketua BSNP Yunan Yusuf mengemukakan, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan pendanaan pendidika menjadi tanggunjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Untuk itu, mutlak dikembangkan standar pembiayaan pendidikan. "Pembiayaan pendidikan tersebut mencakup biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal," paparnya.
Biaya investasi pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, biaya pengembangan sumber daya manusia, modal kerja tetap. Selain itu, biaya personal yang harus dikeluarkan tiap peserta didik.

http://www.jugaguru.com/news/31/tahun/2006/bulan/12/tanggal/17/id/296/

Standar Proses Pendidikan

Masalah Pendidikan Di Indonesia
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikandi Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globslisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan Negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan di dalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan Negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karana itu, kiata seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di Negara-negara lain.
Ada banyak penyabab mengapa mutu pendidikan di Indonesia, baik pendidikan formal maupun informal, dinilai rendah.
Efektifitas pendidikan nasional
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.
Efisiensi Pengajaran diIndonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaiman dapat meraih stendar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Standarissasi Pendidikan Nasional
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP)
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.


http://yunus182.ngeblogs.com/2009/11/25/masalah-pendidikan/

Standar Sarana dan Prasarana Pendiikan

BNSP Hasilkan Sejumlah Standar Pendidikan
Padang, Pelita
Badan Standar Pendidikan Nasional (BNSP) dalam kurun waktu tiga tahun telah menghasilkan sejumlah standar pendidikan nasional yang mulai diterapkan di berbagai jenjang pendidikan dan perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Kami sudah menyusun sejumlah standar pendidikan dan beberapa di antaranya sudah disyahkan oleh Mendiknas, kata Ketua BNSP Prof Dr H Mungin Eddy Wibowo, MPd, Kons, di Padang, Sabtu (10/1).
Menurut dia, standar pendidikan nasional yang dihasilkan pada 2006 di antaranya tentang isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, serta standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.
Pada 2007 standar pendidikan yang telah dihasilkan di antaranya tentang pengawas sekolah/madrasah, kepala sekolah, isi program paket A, B dan C, kualifikasi akademik dan kompetensi guru, pengelolaan pendidikan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah, dan standar penilaian pendidikan.
Kemudian standar tentang sarana dan prasarana pendidikan, serta proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.
Pada 2008 standar yang sudah dihasilkan yakni standar proses pendidikan khusus, proses pendidikan kesetaraan program paket A, B, dan C, tenaga administrasi madrasah/sekolah, tenaga laboratorium sekolah, kualifikasi akademik dan kompetensi konselor, serta standar sarana dan prasarana untuk SDLB, SMPLB dan SMALB dan untuk SMK/MAK.
Sementara itu, standar yang sedang diproses pada 2009 untuk menjadi Permendiknas yakni standar biaya untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, kursus dan pelatihan, kualifikasi akademik dan kompetensi widyaiswara, serta standar kualifikasi akademik dan kompetensi instruktur.
Kemudian standar kualifikasi akademik dan kompetensi pamong belajar, penilik, dan tutor, serta pengelolaan pemerintahan provinsi, pemda kabupaten/kota dan pendidikan nonformal.
Selanjutnya standar pembimbing kursus dan pelatihan, penguji pada kursus dan pelatihan, teknisi sumber belajar pada kursus dan pelatihan, pengelolaan pendidikan kesetaraan program paket A, B dan C, tenaga administrasi pendidikan kesetaraan program paket A, B dan C serta standar panduan penilaian pendidikan.
Dia mengatakan, standar yang dihasilkan tersebut kini mulai diterapkan pada tiap satuan pendidikan dan diberi jangka waktu maksimal pelaksanaan tujuh tahun.

http://www.hupelita.com/baca.php?id=62311

Supervisi pendidikan

Supervisi dan Penjaminan Mutu
Pendahuluan
Semua negara dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia berusaha keras agar dapat menerapkan standar dalam menyelenggarakan pendidikannya. Tiap negara berlomba menetapkan kriteria minimal pada berbagai komponen strategis agar memenuhi standar mutu minimal sebagai modal dasar untuk mengembangkan persaingan. Keberhasilannya diukur dengan indikator-indikator yang paling strategis sehingga menggambarkan hasil nyata sebagai komponen utama penentu daya saing. Upaya meningkatkan mutu itu tidaklah mudah, demikian pakar mutu menyatakan kesungguhannya. Meningkatkan mutu perlu rumusan pikiran tentang apa yang hendak ditingkatkan, memilih bagian yang paling dibutuhkan pelanggan, dan menghasilkan produk kegiatan yang paling unggul di antara produk sejenis.
Oleh karena itu, peningkatan mutu memerlukan ide baru yang datang dari pikiran cerdas, selalu mengandung bagian yang berbeda dari yang ada sebelumnya, menghasilkan bagian yang lebih sempurna, lebih bermanfaat, lebih mempermudah sehingga lebih diminati. Mutu memerlukan waktu, proses dan ketelatenan untuk mewujudkan ide-ide baru dengan baik sejak awal.
Tiap langkah dalam mewujudkan mutu memerlukan disiplin untuk selalu memenuhi seluruh persyaratan pekerjaan agar hasil yang diharapkan terwujud. Dalam sebuah lembaga mutu yang baik lahir dari disiplin bersama, tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama.
Apakah Supervisi?
Supervisi yang merupakan salah satu strategi untuk memastikan bahwa seluruh langkah pada proses penyelenggaraan dan semua komponen hasil yang dicapai memenuhi target.
Supervisi adalah strategi manajemen yang terdiri atas serangkaian kegiatan untuk memastikan bahwa mutu yang diharapkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan kegiatan, dan evaluasi memenuhi standar yang telah ditentukan.
Praktek supervisi selalu berubah seiring dengan tumbuhnya kesadaran para pemangku kepentingan untuk meningkatkan penjaminan mutu. Kesadaran akan pentingnya meningkatkan mutu terkait pada peran, fungsi, dan pembagian tugas dalam organisasi. Pelaksanaannya selalu terkait pada konsistensi lembaga, kegiatan akademik, profesionalisme, dan kesungguhan penyelenggara pendidikan akan pentingnya memastikan bahwa mutu yang diharapkan dapat terus terjaga sejak langkah perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauannya.
Tujuan Supervisi
Supervisi pendidikan bertujuan menghimpun informasi atau kondisi nyata pelaksanaan tugas pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan tugas pokoknya sebagai dasar untuk melakukan pembinaan dan tindak lanjut perbaikan kinerja belajar siswa. Tujuan lanjut adalah bermanfaatnya hasil akreditasi untuk melakukan perbaikan mutu.
Target puncak supervisi adalah berkembangnya proses perbaikan mutu secara berkelanjutan. Meningkatnya kebiasaan melaksanakan tugas sejak awal dengan mutu yang terukur, membiasakan tiap tahap pekerjaan jelas pula mutunya. Meningkatnya kejelasan pengaruh pelaksanaan tugas profesi terhadap hasil belajar siswa. Pada akhirnya supervisi menumbuhkan budaya mutu karena mutu itu adalah budaya yang selalu menjujung terget yang tinggi pada tiap langkah kegiatan.

Perkembangan Supervisi
Supervisi pada awalnya merupakan bagian dari aktivitas manajemen pemerikasaan atau inspeksi oleh pihak eksternal. Kepala sekolah harus menunjukkan bukti kinerja pelaksanaan tugasnya. Pendidik harus menunjukkan bagaimana membelajarkan siswa, menerapkan kurikulum, dan menyerap pelajaran. Pada decade ini tema memeriksa tertanam kuat dalam praktek supervisi.
Pada dekade awal abad kedua puluh, seiring dengan gerakan dalam bidang industri yang menerapkan model manajemen, supervisi semakin berrkembang dengan semakin berpusat pada siswa. Hal ini dipengaruhi oleh berkembangnya teori-teori kurikulum yang berkembang di Eropa seperti Friedrich Froebel, Johan Pestalozzi, Johan Herbart, serta filsuf Amerika terkemuka John Dewey. Pekembangan ini jelas sangat berpengaruh terhadap perkembangan sekolah.
Perkembangan lebih jauh dengan berkembangnya berbagai penelitian dalam bidang pendidikan, pengawasan sering terjebak pada kegiatan mengevaluasi guru secara ilmiah yang simultan dengan mengembangkan model pembelajaran yang mekanistis , mengulang, dan meningkatkan partisipasi untuk lebih meningkatkan ragam tanggapan siswa yang tumbuh dari rasa ingin tahu. Perkembangan ini telah menyebabkan meningkatnya standar persyaratan sistem pembelajaran. Pendekatan supervisi yang ilmiah telah memunculkan ketegangan psikologis guru yang cendrung lebih memperhatikan aspek pragmatis.
Paradigma mekanistik dibangun berdasarkan paradigma lingkungan yang berfokus pada empat komponen dasar, yaitu hubungan antara sistem alam dan sosial, mengintegrasikan nilai kemanusian dengan alam, menggunakan teknologi dalam mengembangkan alternatif, dan mengembangkan kegiatan pembelajaran dalam siklus kehidupan manusia. (Disinger, John F. – Roth, Charles E, 1992)
Sampai kini ketegangan antara pengawas dengan pendidik akibat dari pengawasan yang menggunakan pendekatan ilmiah tidak pernah pudar. Oleh karena itu berkembanglah pemikiran lanjut untuk mengembangkan supervisi dengan pendekatan yang lebih fleksibel, dialogis, kolaboratif, melibatkan hati secara alamiah, dan lebih komunikatif. Supervisi menjadi bagian dari usaha meningkatkan mutu penerapan kewenangan profesional.
Perkembangan selanjutnya adalah berkembangnya konsep supervisi klinis. Awalnya konsep itu dikembangkan oleh profesor Harvard Morris Cogan dan Robert Anderson serta mahasiswa pascasarjana mereka. Supervisi dan supervisi klinis mengintegrasikan unsur objektif dan ilmiah melalui pengamatan kelas yang bersifat kolegial, menekankan pada aspek pembinaan, serta didasari dengan perencanaan rasional, pelaksanaan yang fleksibel dengan pendekatan utama membantu memecahkan masalah yang terdapat pada pembelajaran siswa.
Tahun 1969 Robert Goldhammer mengusulkan pelaksanaan supervisi klinis dalam lima tahap, yaitu: (1) Pertemuan pra-observasi antara pendidik dan pengawas untuk menyepakati komponen-komponen kegiatan yang akan menjadi materi analisis; (2) observasi kelas; (3) catatan analisis supervisor untuk bahan kajian dari hasil observasi; (4) pertemuan pendidik dengan supervisor pasca observasi; dan (5) pertemuan para pengawas untuk membahas hasil pertemuan akhir dengan para pendidik.
Di samping itu, Cogan menegaskan bahwa pelaksanaan supervisi hendaknya berlangsung dalam hubungan kolegial, terfokus pada kepentingan guru dalam meningkatkan standar pembelajaran siswa, dan dengan sistem pengamatan yang tidak menghakimi.
Pada era tahun 1970-1980-an, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kurikulum berubah pandang dengan lebih menekankan pada struktur disiplin akademik. Tak lama setelah itu, perspektif baru yang berhasil dirumuskan dari produk penelitian dalam konteks pengembangan sekolah efektif dan kelas efektif, dan belajar efektif. Pada periode ini ini tercatat nama Madeline Hunter yang berhasil mengadaptasi hasil penelitiannya pada bidang psikologi belajar dengan memperkenalkan, quasi-ilmiah atau dikenal juga dengna istilah analisis konsteks. Quasi-eksperimen selanjutnya menjadi sangat populer dan berkembang menjadi metode penelitian dalam ilmu sosial.
Para akademisi selanjutnya mengikuti siklus sebagaimana Cogan dan Goldhamer rumuskan yaitu proses supervisi dilakukan secara dialogis dan replektif. Pendekatan supervisi ini kemudian banyak diterapkan. Lebih jauh pendekatan ini telah menjadi pemicu muncul model supervisi teman sejawat dengan difasilitasi hubungan kolegial antar guru dengan melakukan penelitian tindakan kelas (PTK).
Meskipun supervisi klinis menjadi salah satu cara yang sangat efektif dalam membantu memecahkan masalah yang guru dalam memperbaiki pekerjaannya, namun mengingat jumlah guru yang semakin banyak maka pelaksanaannya memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar sehingga hal ini menjadi mustahil diperlakukan kepada semua guru.
Sejalan dengan berkembangnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu siswa belajar dan peningkatan mutu guru.,Thomas Sergiovanni dan Robert Starratt (1998) mengembangkan sistem supervisi multi proses. Konsep ini menekankan akan pentingnya mengingkatkan mutu pengawas supaya dapat mendorong pertumbuhan mutu guru. Pelaksanaan supervisi dilakukan multi tahun serta multi proses. Sistem supervisi memperlakukan pendidik dan tenaga pendidik menigkatkan mutu profesinya dalam satu siklus yang terdiri atas bergai komponen kegiatan. Siklus dapat dikembangkan dalam 3 sampai 5 tahun, tergantung pada kebutuhan. Pendidik dan tenaga kependidikan mendapat perlakuan satu model atau banyak perlakuan formal, seperti evaluasi diri, supervisi teman sejawat, pengembangan kurikulum, penelitian tindakan kelas, lesson study (peningkatan mutu profesi melalui perbaikan mutu pelaksanaan tugas secara ilmiah), penelitian tindakan penerapan strategi pembelajaran baru, pemagangan, dan menggabung dalam proyek pembaharuan sekolah.
Sergiovanni and Starratt juga menegaskan pentingnya setiap tindakan itu memberikan dampak pada meningkatnya kemampuan profesi pada indikator yang terukur. Juga dari sisi ruang lingkup kegiatan terluas adalah membuka peluang pendidik dan tenaga kependidikan untuk berpartisipasi secara sengaja pada agenda pembaruan seluruh sekolah. Hal itu dimaksudkan agar dapat merangsang pertumbuhan kompetensi profesional supervisi dalam konteks sistem sekolah yang lebih besar.
Belakangan para ahli juga menemukan model perbaikan pelaksanaan tugas yang berbasis kepakaran guru dalam kegiatan lesson study yang sudah lama berkembang dan efektif digunakan Jepang dalam memperbaiki tugas profesinya dalam kelas. Yang menarik dari strategi ini, fokus kajian tidak berkonsentrasi pada masalah yang guru hadapi dalam kelas, namun lebih fokus pada indentifikasi keunggulan guru dalam mempengaruhi siswa belajar dalam kelas. Peningkatan diarahkan pada menambah kekuatan itu sehingga menjadi lebih berarti.
Kecenderungan dan Masalah Supervisi
Kecenderungan dapat dilihat dari perkembangan kegiatan supervisi di Indonesia selalu berkembang sejalan dengan berkembangnya konsep pada perkembangan global. Berbagai teori yang berkembang pada tataran internasional terus menjadi bahan kajian akademik di berbagai forum pengembangan mutu pendidikan di Indonesia. Masalahnya adalah dampak pada peningkatan mutu pembelajaran belum terukur hasilnya.
Supervisi belum menghasilkan data yang sebenarnya diperlukan untuk meningkatkan kinerja. Hingga kini sekolah belum dapat mengukur dan memilah berapa banyak pendidik yang bekerja di atas standar, pada taraf memenuhi standar. Jumlah guruyang under performance seringkali tidak diperoleh datanya dari supervisi, melainkan pada umumnya dari tingkat kehadiran dan keluhan siswa. Jadi, sampai saat ini pelaksanaan supervisi belum berfungsi sebagai instrumen peningkatan mutu yang optimal.
Pada era tahun 1960-an, kepala sekolah dan guru disupervisi dengan pendekatan isnspeksi. Pemeriksaan oleh pengawas menegangkan kepala sekolah dan pengawas. Kunjungan kelas pengawas merupakan kegiatan formal yang menakutkan. Pengawas, pada saat itu: penilik, masuk kelas memeriksa bagaimana guru mengajar, memeriksa sampai mana kurikulum diterapkan, dan menguji kompetensi siswa secara lisan. Hasil pemeriksaan merupakan nilai kinerja sekolah yang sangat bermakna terhadap masa depan karir mereka sehingga kepala sekolah maupun pendidik berkepentingan dengan hasil penilaian yang baik.
Kepala sekolah melakukan inspeksi terhadap guru sebagai wujud dari sistem supervise internal berlangsung setiap hari. Pendidik menyusun persiapan harian yang diperiksa dan ditandatangani oleh kepala sekolah. Tiap hari sebelum masuk kelas guru memeriksankan pesiapan mengajarnya dalam bentuk jurnal kegiatan harian sebelum masuk kelas.
Pada era tahun 1970-an-1980-an seiring dengan perkembangan konsep baru seperti yang dikembangkan Harvard Morris Cogan dan Robert Anderson, Robert Goldhammer yang menegaskan pentingnya supervise yang flesibel, kolegial, fokus pada standar mutu belajar siswa, sampai pada munculnya konsep pelaksanaan supervisi klinis pelaksanaan supervisi di Indonesia menganut model-model baru. Pada dekade ini inspeksi telah berubah menjadi supervisi yang lebih dialogis, kolaboratif, dan menekankan pada peningkatan kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran dalam kelas.
Tugas utama supervisi berada di tangan kepala sekolah. Tugas ini dikuatkan dengan bertambahnya jumlah pengawas sekolah yang diangkat oleh pemerintah untuk membantu sekolah. Namun sayang sekali penugasan pengawas ke sekolah tidak pernah di dukung dengan biaya yang memadai sehingga sebagian beban itu dari waktu ke waktu menjadi tanggungan sekolah. Akibatnya wibawa pengawas di sekolah terganggu dengan dampak psikologis kontribusi finansial sekolah kepada pengawas. Akibatnya, fungsi supervisi tidak berfungsi optimal.
Pada era tahun1990-an model supervisi klinis mulai terasa pengaruhnya di Indonesia. Kepala sekolah mulai mendapat pelatihan untuk melakukan kegiatan supervisi model ini. Bahkan karena besarnya hambatan psikologi guru untuk membuka masalah yang dihadapinya, menimbulkan kehawatiran muculnya padangan negatif di lingkungan kerja sebagai guru yang tidak berkemampuan, sebenarnya supervisi klinis tidak pernah berkembang baik pada banyak sekolah di Indonesia.
Terbitnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 telah mengubah kedudukan sekolah negeri yang disejajarkan dengan sekolah swasta. Oleh karena itu sekolah negeri juga harus diakreditasi sama dengan sekolah swasta. Kinerja sekolah yang dinilai dalam akreditasi adalah efektivitas kepala sekolah dalam melakukan akreditasi pendidik. Pada perkembangan terakhir kepala sekolah semakin menyadari bahwa supervisi merupaan strategi yang penting memonitor, menilai, membimbing, dan membina pendidik dan tenaga kependidikan sehingga melalui kegiatan supervisi sekolah memiliki peta mutu kinerja.
Rendahnya kendali terhadap pelaksanaan tugas manajemen sekolah, pada banyak kasus kepala sekolah kurang efektif melakukan supervisi. Terpenuhinya dokumen pelaksanaan tugas supervisi cenderung hanya untuk memenuhi dokumen formal, namun implikasi praktis pada dampak penigkatan mutu melalui sistem pelaksanaan standar supervisi belum terwujud.
Dalam kondisi seperti ini model multi proses yang dikembangkan Thomas Sergiovanni dan Robert Starratt (1998) melalui multi strategi dalam bentuk siklus pemantauan kinerja belum dapat Indonesia terapkan. Kelemahan ini seiring dengan melemahnya upaya pelaksanaan supervisi pembelajaran di masa otonomi daerah.
Penyelenggaraan program rintisan sekolah bertaraf internasional yang mensyaratkan penerapan penjaminan ISO (International Organization for Standardization) telah menggeser paradigma pengelolaan supervisi. Pelaksana supervisi internal yang pada awalnya penjadi tanggung jawab kepala sekolah dan harus dilaksankan oleh kepala sekolah berubah menjadi kepala sekolah tetap berfungsi sebagai penanggung jawab, namun pelaksana supervisi ada pada tim khusus yang dibentuk untuk membantu kepala sekolah melakukan penjaminan mutu.
Sistem itu diharapkan akan mengubah kegiatan supervisi dari formal-seremonial ke dalam aktivitas penjaminan mutu yang sesungguhnya. Apalagi jika pemerintah daerah telah menerapkan sistem untuk mendorong pelaksanaan supervisi sebagai penjamin mutu dapat dilaksanakan sesuai dengan fungsinya. Dengan langkah ini tentu akan meningkatkan akuntabilitas pemerintahan terutama dalam menjamin bahwa tiap warga negara memeperoleh pendidikan yang bermutu.
Akibatnya pemerintah daerah pada umumnya tidak memiliki data kineraja sekolah sebagai dasar pengembangan kebijakannya. Data ini juga sebagai dampak dari rendahnya kinerja sekolah dalam menghimpun data profil kenerja pendidik.
Penerapan standar yang mensyaratkan lengkapnya data profil kinerja melalui supervisi belum dapat sekolah penuhi sehingga Indonesia belum memiliki dasar yang kuat dalam mengembangkan kebijakan yang standar, yaitu berbasis data. Jadi, manajemen pendidikan kita terpaksa mengembangkan kebijakan penerapan standar dengan dukungan kebijakan yang tidak berstandar.
Solusi Alternatif
Dengan memperhatikan kondisi yang memprihatinkan di satu sisi karena belum supervisi sebagai upaya penjaminan mutu belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh kepala sekolah maupun dinas kabupaten-kota yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh para pengawas, maka sistem peningkatan mutu melalui kegiatan supervisi perlu dicarikan melalui solusi lain.
Solusi pertama dengan memanfaatkan kecendrungan sekolah untuk menerapkan standar ISO dalam sistem pengelolaan, maka pembentukan tim audit mutu dapat dimanfaatkan untuk lebih efektif dalam melakukan sistem penjaminan mutu melalui kegiatan supervisi teman sejawat.
Untuk lebih mengembangkan sistem supervisi multi proses sebagaimana yang telah berkembang di negara-negara maju yang diintegrasikan dengan multi proses, maka peran LPMP perlu ditingkatkan sebagai lembaga penjamin mutu melalui peningkatan perannya dalam melaksanakan supervisi yang melibatkan para pengawas di kabupaten kota. Produk LPMP ketika informasi hasil supervisi terhimpun dapat dikembangkan menjadi peta perkembangan pendidikan pada tiap daerah sekaligus sebagai strategi untuk menilai kinerja pendidikan dan kinerja pemerintah daerah oleh pemerintah khususnya dalam sistem peningkatan mutu pelaksanaan standar pendidikan.
Kesimpulan
Supervisi merupakan salah satu strategi manajemen untuk menjamin bahwa seluruh proses dan hasil peningkatan mutu dapat mencapai target yang ditetapkan. Melalui kegiatan supervisi kinerja dapat diukur. Melalui kegiatan supervisi pemetaan mutu dapat dideskripsikan.
Konsep supervisi sebagai strategi penjaminan mutu belum dapat diwujudkan secara optimal. Kepala sekolah sebagai penjamin mutu internal sekolah belum dapat melaksanakan tugas supervisi dengan optimal pula, demikian juga pengawas pembina. Oleh karena itu mengembangkan sistem supervisi melalui optimalisasi diri melalui kontrol yang dikembangkan oleh LPMP seharusnya menjadi salah satu alternatif yang perlu segera dikuatkan.


Situs: gurupembaharu.com/peningkatan-mutu/pengawasan/supervisi-penjaminan-mutu/